Senin, 17 November 2008

PERANAN PENYULUHAN DAN KELOMPOK TANI TERNAK UNTUK MENINGKATKAN ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PETERNAKAN SAPI POTONG

Agustina Abdullah
Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan KM 10 Kampus UNHAS Tamalanrea Makassar
(Makalah Seminar Nasional Sapi Potong. Universitas Tadulako Palu, 24 Nopember 2008)

Abstrak
Dalam rangka pengembangan peternakan khususnya sapi potong, penyuluhan sangat memiliki peranan penting khususnya dalam penguatan kelompok tani dan peningkatan proses adopsi teknologi peternakan kepada peternak. Keberhasilan penyuluhan sangat ditentukan oleh model penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan peternak, yaitu ketepatan materi, metode dan media yang digunakan. Pengembangan kelompok tani perlu dilaksanakan dengan nuansa partisipatif sehingga prinsip kesetaraan, transparansi, tanggungjawab, akuntabilitas serta kerjasama menjadi muatan-muatan baru dalam pemberdayaan peternak. Dilain pihak, untuk meningkatkan adopsi teknologi peternakan dalam pengembangan sapi potong beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan terkait dengan teknologi yang diintodusir ke peternak. Teknologi harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh petani kebanyakan, memberi keuntungan secara konkrit bagi petani, mendayagunakan sumberdaya yang sudah ada, terjangkau oleh kemampuan finansial peternak, serta teknologi harus sederhana tidak rumit dan mudah dicoba peternak.

Kata kunci : penyuluhan, kelompok tani, adopsi teknologi, sapi potong

Pendahuluan
Dalam mengembangkan ternak sapi potong tentunya tidak terlepas dari peranan kelompok tani ternak dalam mengupayakan ternaknya agar mendapat nilai tambah serta efisien dalam pengelolaannya. Upaya yang perlu dikembangkan dalam membina dan memantapkan kelompok peternak adalah memperkuat kelembagaan ekonomi petani peternak di pedesaan. Untuk itu diperlukan pendekatan yang efektif agar petani/peternak dapat memanfaatkan program pembangunan yang ada, secara berkelanjutan, melalui penumbuhan rasa memiliki, partisipasi dan pengembangan kreatifitas, disertai dukungan masyarakat lainnya sehingga dapat berkembang dan dikembangkan oleh masyarakat tani disekitarnya (Muslim, 2006).
Upaya ini diarahkan untuk terbentuknya kelompok-kelompok peternak, kerjasama antar kelompok sehingga terbentuk kelompok yang produktif yang terintegrasi dalam satu koperasi dibidang peternakan (Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2002a). Melalui kelompok peternak sapi potong diharapkan para peternak dapat saling berinteraksi, sehingga mempunyai dampak saling membutuhkan, saling meningkatkan, saling memperkuat, sehingga akan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mengelola sistem usaha agribisnis dan agroindustri secara potensial.
Secara teoritis pengembangan kelompok tani ternak dilaksanakan dengan menumbuhkan kesadaran para peternak, dimana keberadaan kelompok tani tersebut dilakukan dari, oleh dan untuk peternak. Pengembangan kelompok tani perlu dilaksanakan dengan nuansa partisipatif sehingga prinsip kesetaraan, transparansi, tanggungjawab, akuntabilitas serta kerjasama menjadi muatan-muatan baru dalam pemberdayaan peternak. Suatu kelompok tani yang terbentuk atas dasar adanya kesamaan kepentingan diantara peternak menjadikan kelompok tani tersebut dapat eksis dan memiliki kemampuan untuk melakukan akses kepada seluruh sumberdaya seperti sumberdaya alam, manusia, modal, informasi, serta sarana dan prasarana dalam mengembangan usahatani yang dilakukannya (Abdullah dan Syamsu, 2008).
Pemberdayaan peternak dapat berarti meningkatkan kemampuan atau kemandirian peternak dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan peternak untuk dapat berkembang. Disamping itu peningkatan kemampuan peternak dalam membangun termasuk kelembagaan peternak (kelompok tani) dan melakukan perlindungan melalui pemihakan kepada yang lemah dengan mencegah persaingan yang tidak seimbang serta menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan. Peran kelompok tani ternak sangat strategis sebagai wadah peternak untuk melakukan hubungan atau kerjasama dengan menjalin kemitraan usaha dengan lembaga-lembaga terkait dan sebagai media dalam proses transfer teknologi dan informasi. Dilain pihak, secara internal kelompok tani ternak sebagai wadah antar peternak ataupun antar kelompok tani dalam mengembangkan usahataninya (Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2002b).
Untuk itu diperlukan langkah-langkah strategis dalam rangka pemberdayaan kelompok tani yang memiliki muatan partisipatif yaitu peternak dalam posisi sebagai pelaku pembangunan peternakan. Muatan partisipatif adalah peternak terlibat langsung dalam proses perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi dari kegiatan usaha peternakan sapi potong dalam wadah kelompok tani khususnya dalam meningkatkan adopsi teknologi peternakan sapi potong.
Penyuluhan dan Pemberdayaan Petani Peternak
Undang Undang Republik Indonesia, Nomor 16 Tahun 2006, menyatakan bahwa penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sistem penyuluhan adalah seluruh rangkaian pengembangan kemampuan, pengetahuan, keterampilan, serta sikap pelaku utama dan pelaku usaha melalui penyuluhan.
Tujuan sistem penyuluhan meliputi pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial, yaitu: a. memperkuat pengembangan pertanian, perikanan, serta kehutanan yang maju dan modern dalam sistem pembangunan yang berkelanjutan; b. memberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam peningkatan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi; c. memberikan kepastian hukum bagi terselenggaranya penyuluhan yang produktif, efektif, efisien, terdesentralisasi, partisipatif, terbuka, berswadaya, bermitra sejajar, kesetaraan gender, berwawasan luas ke depan, berwawasan lingkungan, dan bertanggung gugat yang dapat menjamin terlaksananya pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan; d. memberikan perlindungan , keadilan, dan kepastian hukum bagi pelaku utama dan pelaku usaha untuk mendapatkan pelayanan penyuluhan serta bagi penyuluh dalam melaksanakan penyuluhan; dan e. mengembangkan sumber daya manusia, yang maju dan sejahtera, sebagai pelaku dan sasaran utama pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan (Undang-Undang No.16/2006).
Penyuluhan pertanian merupakan bagian dari pembangunan masyarakat pertanian yang diartikan sebagai pembangunan pertanian yang memihak petani. Dalam pelaksanaannya memerlukan berbagai perangkat material dan non-material, terutama keberanian untuk memihak. Elemen terpenting di dalam mengimplementasikan pembangunan masyarakat pertanian adalah elemen pemberdayaan sumber daya manusia petani yang menempati posisi sangat strategis yaitu berperan sebagai pelaku utama dan subyek pembangunan (prime mover to development).
Dalam rangka pemberdayaan petani peternak (farmer development), kunci pertama dan utama adalah ‘percaya kepada petani.’ Dengan demikian peran petani dalam pembangunan masyarakat adalah krusial dalam pengertian sebagai penentu keberhasilan pembangunan yang sangat berperan aktif dalam seluruh aspek kegiatannya. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi termasuk kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan pertanian. Pembangunan pertanian yang berdimensi masyarakat harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat berakhir di petani dan berawal dari petani. Konsep inilah yang akan menggeser paradima ‘farmer last-top down’ menjadi ‘farmer first-botton up’ (Herawati dan Junanto, 2003).
Penyuluhan pertanian menekankan perlunya penyamaan persepsi dan sikap tentang visi, misi, etika bisnis, tujuan, sasaran dan rencana kerja bersama diantara para pelaku sistem agribisnis. Karena itu, kegiatan penyuluhan sistem agribisnis tidaklah adil jika hanya dilakukan kepada petani peternak saja. Petani memang memerlukan penyuluhan, tetapi para pelaku perusahaan agribisnis lainnya dan subsistem jasa penunjang yang terkait dalam sistem agribisnis juga perlu dilakukan penyuluhan. Jika hal ini berhasil, maka akan terbentuk hubungan yang harmonis dalam kebersamaan dan saling ketergantungan diantara para pelaku system agribisnis untuk menghasilkan visi, misi, etika bisnis, tujuan dan sasaran serta rencana kerja bersama agar dapat menghasilkan produk pertanian yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Penyuluhan pertanian juga memerlukan perubahan perilaku penyuluh, yakni harus mampu: (a) meningkatkan profesionalisme penyuluh dengan melakukan perbaikan mutu layanan secara terus menerus yang mengacu kepada kebutuhan dan kepuasan pelanggannya; (b) menguasai materi penyuluhan yang menyangkut teknis produksi, manajemen agribisnis, manajemen hubungan sistem agribisnis, informasi permintaan pasar atau kebutuhan konsumen, jiwa kewirausahaan, serta etika bisnis dan keunggulan bersaing; (c) tidak menjadikan petani dan perusahaan agribisnis lainnya sebagai obyek tetapi sebagai subyek yang dapat menentukan masa depannya sendiri; dan (d) melakukan fungsi melayani (konsultatif) dengan sistem “menu” (Suparta, 2007).
Karakteristik Adopsi Teknologi
Adopsi inovasi merupakan suatu proses mental atau perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psychomotor) pada diri seseorang sejak ia mengenal inovasi sampai memutuskan untuk mengadopsinya setelah menerima inovasi (Rogers dan Shoemaker, 1971). Hal senada disampaikan oleh Soekartawi (1988) yang menyatakan bahwa adopsi merupakan proses mental dalam diri seseorang melalui pertama kali mendengar tentang suatu inovasi sampai akhirnya mengadopsi.
Faktor lain yang mempengaruhi percepatan adopsi dan difusi inovasi adalah tepat tidaknya dalam menggunakan metode penyuluhan. Penggunaan metode yang efektif akan mempermudah untuk dipahami oleh petani. Sering sebagian orang menyamakan istilah komunikasi pertanian dengan penyuluhan pertanian, padahal keduaya berbeda satu sama lain. Perbedaan keduanya disampaikan oleh Soekartawi (1988) bahwa komunikasi pertanian adalah suatu pernyataan antar manusia yang berkaitan dengan kegiatan di bidang pertanian, baik secara perorangan maupun kelompok, yang sifatnya umum dengan menggunakan lambang-lambang tertentu; sedangkan penyuluhan pertanian adalah sistem pendidikan di luar sekolah (informal) yang diberikan kepada petani dan keluarganya dengan maksud agar mereka mampu, sanggup, dan berswadaya memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraan keluarganya atau bila memungkinkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekelilingnya. Komunikasi mempunyai pengertian yang lebih luas dibanding penyuluhan, dengan kata lain dalam penyuluhan selalu ada unsur komunikasi, akan tetapi dalam komunikasi belum tentu ada unsur penyuluhan. Perbedaan mendasar lainnya adalah adanya unsur pendidikan dalam penyuluhan, dalam komunikasi tidak selalu ada. Dengan demikian, dalam penyuluhan perlu adanya materi yang perlu disiapkan dan penyampaian yang sistematis. Materi penyuluhan pertanian biasanya berupa inovasi-inovasi di bidang pertanian. Agar pesan inovasi tersebut dapat diterima dan diaplikasikan oleh target sasaran maka diperlukan metode penyuluhan.
Dari beberapa penelitian terungkap bahwa dalam program pembangunan pertanian terdapat sejumlah petani yang hanya mengadopsi komponen-komponen tertentu dari paket teknologi yang direkomendasikan, bahkan ada indikasi bahwa sebagian petani yang semula telah melaksanakan paket teknologi kemudian kembali lagi pada teknologi usahatani lama (Kepas, 1988). Gejala tersebut dapat menghambat upaya pelembagaan teknologi pertanian pada kelompok-kelompok sasaran. Di samping lingkungan fisik, Fliegel et al. (1971) telah mengungkapkan ada lima faktor yang mempengaruhi sikap petani dalam mengadopsi perubahan teknologi, yakni a) keuntungan nilai tambah relatif bila teknologi itu diadopsi, b) kecocokan teknologi dengan sosial budaya setempat, c) hasil pengamatan petani terhadap petani lain yang sedang atau telah mencoba teknologi itu sebagai dasar peletakan kepercayaan, d) mencoba sendiri akan keberhasilan teknologi baru dan e) kondisi ekonomi yang ada seperti ketersediaan modal, bagaimana konsekuensi kenaikan produksi terhadap harga produk. Faktor lain yang juga bekerja mempengaruhi adopsi tersebut, dikemukakan Maamun et al. (1993) yaitu (a) sifat/karakter individu/kelompok yang melakukan tindakan adopsi, (b) faktor sosial, ekonomi dan budaya, (c) penampilan dan kesesuaian teknologi, dan (d) faktor eksternal yaitu pelayanan dan kebijaksanaan dari lembaga terkait.
Ginting (2006) melaporkan bahwa dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab sulitnya adopsi teknologi oleh petani dapat dilihat dari aspek sebagai berikut :
a. Teknis, yaitu pengaruh teknologi terhadap perbaikan hasil dan/atau pendapatan/keuntungan usaha tani belum diyakini benar oleh petani dan kurangnya jaringan informasi dan infrastruktur yang tidak mendukung kelancaran masuknya informasi dan ilmu pengetahuan dari luar bagi petani.
b. Pengetahuan, yaitu kurangnya sistem diseminasi teknologi pertanian (penyuluhan/demplot/gelar teknologi) dan rendahnya tingkat pendidikan/pengetahuan petani sehingga sulit menterjemahkan manfaat teknologi baru.
c. Sosial, yaitu pada umumnya petani miskin takut resiko dan disalahkan rekan-rekan sesama petani apabila terjadi kegagalan akibat menuruti kemauan sendiri. Jadi adopsi teknologi pada umumnya merupakan hasil musyawarah antar anggota kelompok tani atau antar sesama kelompok tani. Perubahan teknologi sering berarti menambah kebutuhan tenaga kerja, kecuali adopsi alsintan yang justru mengurangi tenaga kerja.
d. Ekonomi, perubahan teknologi sering berarti menambah jumlah biaya produksi, sedangkan modal merupakan suatu kendala bagi petani miskin.
Lebih lanjut dinyatakan Ginting (2006) bahwa permasalahan yang biasa ditemukan di tingkat petani adalah takut resiko rugi baik karena harga jual rendah dan sulit pemasaran dan sistem pemasaran yang belum efisien, ongkos transport yang tinggi sehingga harga jual di tingkat petani tertekan rendah; Akibatnya, perbaikan teknologi hanya sedikit saja berpengaruh terhadap kenaikan pendapatan/keuntungan petani, sehingga minat petani untuk mengadopsi teknologi baru kurang. Pada umumnya petani mengusahakan pertaniannya masih secara tradisional tanpa atau sangat sedikit mengalami perubahan/perbaikan teknologi.
Hal ini disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut: (1) Petani belum mengenal/mendengar teknologi baru baik dari penyuluh, peneliti atau dari rekan petani lainnya; (2) Petani sudah mendengarnya, tetapi belum pernah melihat teknologi baru tersebut; (3) Petani sudah pernah melihat teknologi baru tersebut namun belum pernah mencobanya; dan (4) Pernah mencoba teknologi tersebut, tetapi tidak dapat diadopsinya karena: (a) terlalu mahal baginya karena modal lemah; (b) terlalu sulit dan perlu waktu lama untuk memahaminya; (c) belum yakin akan mendatangkan tambahan keuntungan, karena takut resiko gagal. Oleh karebna itu, peningkatan produksi dan pemasaran dalam merespon peluang pasar memerlukan suatu dasar teknologi yang sehat (sound technological base) dan lingkungan informasi yang dinamis (vibrant information environment). Strategi harus disusun untuk membangun landasan dalam inovasi teknologi yang kondusif dalam mendukung tujuan kegiatan.
Menurut Hermanto (1999) masalah kurang tercapainya sasaran peningkatan sumberdaya manusia (petani) termasuk peningkatkan adopsi teknologi peternakan melalui penyuluhan adalah: metode penyuluhan kurang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi petani dan materi yang disampaikan tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Ketidaksesuaian tersebut disebabkan oleh masalah: (a) interaksi antara penyuluh dan petani kurang intensif; (b) kurangnya penguasaan materi dari penyuluh; dan (c) rendahnya kepekaan penyuluh terhadap masalah yang terjadi di petani (responsivness).
Upaya Peningkatan Adopsi Teknologi Peternakan
Salah satu faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi adalah sifat dari inovasi itu sendiri. Inovasi yang akan diintroduksi harus mempunyai banyak kesesuaian (daya adaptif) terhadap kondisi biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya yang ada di peternak. Untuk itu, inovasi yang ditawarkan ke petani harus inovasi yang tepat guna. Dari studi yang telah dilakukan Hendayana dan Yusuf (2003), menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh tiap peternak dalam pemeliharaan sapi potong ternyata beragam. Ada dugaan bahwa inovasi teknologi penggemukan itu belum sepenuhnya diterapkan peternak. Kondisi tersebut tidak terlepas dari permasalahan adopsi inovasi teknologi. Adopsi adalah penerimaan atau penggunaan suatu ide, alat - alat atau teknologi baru oleh komunikan yang disampaikan oleh komunikator. Sehingga adopsi dapat diartikan suatu bentuk keputusan yang diambil oleh komunikan untuk menerima atau menerapkan inovasi yang diperolehnya dari komunikator maupun media masa. Secara empiris, adopsi inovasi teknologi oleh petani sering masih terbatas pada skala kecil. Di dalam inovasi biasanya komponen dipilih yang paling tinggi manfaatnya dan paling rendah resikonya.
Dilain pihak, Musyafak dan Ibrahim (2005), menyatakan bahwa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan adopsi teknologi pertanian termasuk teknologi dalam peternakan sapi potong adalah memilih inovasi teknologi tepat guna yang memenuhi kriteria sebagai berikut.
a. Teknologi harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh petani kebanyakan. Inovasi akan menjadi kebutuhan petani apabila inovasi tersebut dapat memecahkan masalah yang sedang dihadapi petani. Cara menemukan teknologi dengan kriteria ini adalah (a) mengidentifikasi masalah petani secara benar, dan (b) memberikan solusi masalah tersebut dengan inovasi (teknologi).
b. Teknologi harus memberi keuntungan secara konkrit bagi petani. Inovasi (teknologi) yang akan diterapkan harus dijamin akan memberikan keuntungan lebih dibanding inovasi (teknologi) yang sudah ada. Jika hal ini terjadi, niscaya petani akan mempunyai semangat untuk mengadopsi. Untuk menemukan inovasi (teknologi) dengan kriteria ini adalah (a) bandingkan teknologi introduksi dengan teknologi yang sudah ada, selanjutnya (b) identifikasi teknologi dengan biaya yang lebih rendah atau teknologi dengan produksi yang lebih tinggi.
c. Teknologi harus mendayagunakan sumberdaya yang sudah ada. Teknologi untuk para petani harus menggunakan sumberdaya yang sudah mereka miliki. Kalau sumberdaya dari luar mutlak diperlukan, kita harus memastikan bahwa sumberdaya itu murah, dapat diperoleh secara teratur dengan mudah dari suatu sumber tetap yang dapat diandalkan. Untuk memperoleh teknologi dengan kriteria tersebut, dapat dilakukan dengan cara (a) mengidentifikasi sumberdaya lokal yang tersedia, (b) mencari teknologi yang banyak mamanfatkan sumberdaya lokal tersebut.
d. Teknologi harus terjangkau oleh kemampuan finansial peternak. kendala adopsi yang datang secara internal dari inovasi itu sendiri adalah inovasi tersebut dirasakan mahal oleh petani. Sedangkan kendala adopsi dari luar inovasi itu sendiri adalah orientasi usaha, pasar, dan ketersediaan sarana pendukung (saprodi, dll). Sebagus apapun teknologi kalau tidak terjangkau oleh kemampuan finansial petani sebagai pengguna, maka akan susah untuk diadopsi. Apalagi kebanyakan petani relatif miskin, maka inovasi yang dirasakan murah akan lebih cepat diadopsi dibanding inovasi yang mahal. Cara menemukan teknologi ini adalah (a) mengidentifikasi kemampuan permodalan petani, sumber kredit yang bisa diakses petani, bantuan/pinjaman permodalan melalui program, dan sumber modal lain, (b) evaluasi, apakah teknologi yang diintroduksikan terbiayai oleh petani.
e. Teknologi harus sederhana tidak rumit dan mudah dicoba peternak. Semakin mudah teknologi baru untuk dapat dipraktekkan, maka makin cepat pula proses adopsi inovasi yang dilakukan petani. Oleh karena itu, agar proses adopsi dapat berjalan cepat, maka penyajian inovasi harus lebih sederhana. Dengan demikian kompleksitas suatu inovasi mempunyai pengaruh yang besar terhadap percepatan adopsi inovasi. Untuk menemukan teknologi dengan kriteria tersebut, dilakukan dengan mengevaluasi apakah teknologi yang diintroduksikan sederhana (tidak rumit), jika memang rumit dilakukan peragaan, percontohan, pelatihan secara partisipatif.
Proses adopsi melalui beberapa tahapan yaitu kesadaran (awareness), perhatian (interest), penaksiran (evaluation), percobaan (trial), adopsi (adopsi),konfirmasi (confirmation) (Mundy, 2000). Untuk mempermudah dalam memahami proses adopsi, berikut ini akan diberikan illustrasi tentang adopsi teknologi fermentasi jerami padi sebagai sapi potong. Jika peternak telah diperkenalkan teknologi fermentasi jerami padi sebagai pakan sapi potong, maka sejak itu, peternak mengalami proses mental untuk menerima atau menolak teknologi tersebut, dengan tahapan sebagai berikut.
1. Peternak menyadari bahwa pemanfaatan jerami padi melalui teknologi fermentasi sebagai pakan dapat meningkatkan produktivitas sapi potong dan memanfaatkan potensi limbah pertanian
• Tahap kesadaran (awareness)

2. Peternak mulai tertarik terhadap teknologi fermentasi jerami padi sebagai pakan dan mencari informasi tambahan dan lainnya mengenai hal tersebut
• Tahapan perhatian (interest)
3. Selanjutnya peternak memikirkan dan menimbang apakah mampu membiayai segala biaya yang ditimbulkan dari teknologi fermentasi jerami padi, apakah teknologi benar-benar bermanfaat atau apakah peternak lainnya mau membantu mengerjakan teknologi tersebut.
• Tahapan penaksiran (evaluation).

4. Peternak mencoba teknologi fermentasi jerami padi pada saat musim panen padi, dan jika tahap ini berhasil maka akan berlanjut ke tahap adopsi, dan jika gagal maka akan ke tahap penolakan.
• Tahap percobaan (trial).

5. Pada musim penen berikutnya, peternak memutuskan untuk tetap melakukan teknologi fermentasi jerami padi dalam jumlah yang lebih besar. Jika tahap ini berhasil maka adopsi akan berlanjut, dan jika gagal maka akan ke tahap penolakan
• Tahap adopsi (adopsi)

6. Setelah mengadopsi teknologi fermentasi jerami padi, peternak akan meminta informasi kepada peternak lainnya atau petugas penyuluh tentang apa yang dialami terkait teknologi fermentasi jerami padi
• Tahap konfirmasi (confirmation).

7. Bila peternak mengalami hambatan, dan kegagalan
selama pada tahap mencoba/konfirmasi/adopsi, maka
peternak akan memutuskan untuk tidak menggunakan atau menerapkan teknologi fermentasi jerami padi
• Tahap penolakan (rejection).

Penutup
Penyuluhan sangat memiliki peranan penting dalam pengembangan peternakan khususnya dalam penguatan kelompok tani dan peningkatan proses adopsi teknologi peternakan kepada peternak. Keberhasilan penyuluhan sangat ditentukan oleh model penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan peternak, yaitu ketepatan materi, metode dan media yang digunakan. Pengembangan kelompok tani ternak dilaksanakan dengan menumbuhkan kesadaran para peternak, dimana keberadaan kelompok tani tersebut dilakukan dari, oleh dan untuk peternak. Pengembangan kelompok tani perlu dilaksanakan dengan nuansa partisipatif sehingga prinsip kesetaraan, transparansi, tanggungjawab, akuntabilitas serta kerjasama menjadi muatan-muatan baru dalam pemberdayaan peternak.
Untuk meningkatkan adopsi teknologi peternakan dalam pengembangan sapi potong beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan terkait dengan teknologi yang diintodusir ke peternak. Teknologi harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh petani kebanyakan, memberi keuntungan secara konkrit bagi petani, mendayagunakan sumberdaya yang sudah ada, terjangkau oleh kemampuan finansial peternak, serta teknologi harus sederhana tidak rumit dan mudah dicoba peternak.
Daftar Pustaka
Abdullah, A dan Syamsu, J. A. 2008. Penguatan Kelompok Tani Ternak dalam Pengembangan Agribisnis Peternakan. Buletin Peternakan. Edisi XXVIII. Dinas Peternakan Prov. Sul Sel, Makassar

Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2002a. Pengembangan Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan. Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan Deptan, Jakarta

Ditjen Bina Produksi Peternakan. 2002b. Pengembangan Kelembagaan Peternak di Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan. Direktorat Pengembangan Peternakan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta

Fliegel, E.C, J.E. Kivlin And G.S. Sekhon. 1971. Message Distortion and The Diffusion of Innovations in Nothern India. Sociologica Ruralis.

Ginting, B. 2006. Adopsi teknologi oleh petani. http://pfi3p.litbang.deptan.go.id/
mod.php?mod=userpage&menu=60603&page_id=53

Hendayana, R dan Yusuf. 2003. Kajian Adopsi Teknologi Penggemukan Sapi Potong Mendukung Pengembangan Agribisnis Peternakan Di Nusa Tenggara Timur. Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003, Bogor

Herawati, A.R dan D. Junanto. 2003. Pemberdayaan Masyarakat Daerah: Tantangan Dalam Mengelola Sumber Daya Manusia Di Era Otonomi Daerah (Kasus Pembangunan Masyarakat Pertanian Di Beberapa Negara). Jurnal Good Governance Vol. 2 Maret 2003

Hermanto. 1999. Identivikasi dan evaluasi program, proyek. Penggalangan kemiskinan, PSE Bogor, Rapat Kerja Nasional Departemen Pertanian, Jakarta.

Kepas. 1990. Program Supra Insus di Jalur Pantura Jawa Barat: Masalah, Kendala dan Sasaran Untuk Perbaikannya. Badan Litbang Pertanian dan The Ford Fundation.

Maamun, M.Y., IGP Sarasuta, dan A.H. Malian, 1993. Makalah Lokakarya Pertemuan Teknis Evaluasi Dan Program Penelitian Dan Pengembangan Proyek P3nt/Ntasp Di Balittan Maros, 3-5 Juni 1993.

Mundy, P. 2000. Adopsi dan Adaptasi Teknologi Baru. PAATP3. Bogor

Musyafak, A dan Ibrahim, T.M. 2005. Strategi Percepatan Adopsi Dan Difusi Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 1 : 20-37

Muslim, C. 2006. Peranan Kelompok Peternak Sapi Potong dengan Pendekatan Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) di Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Departemen Pertanian, Bogor

Roger, E.M. and F.F. Shoemaker. 1971. Communication of Innovation: A Cross Cultural Approach. The Free Press. New York

Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar: Komunikasi Pertanian. UI Press. Jakarta

Suparta, N. 2007. Penyuluhan Sistem Agribisnis Suatu Pendekatan Holistik. Ps. Sosek Dan Agribisnis, Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar

Undang-Undang Republik Indonesia No 16. 2006. Undang-Undang No. 16 Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan.

PERLUNYA PENINGKATAN ADOPSI TEKNOLOGI PETERNAKAN

oleh
Agustina Abdullah
Mahasiswa Program Doktor UNDIP Semarang dan
Dosen Fak. Peternakan UNHAS

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 16 Tahun 2006, dinyatakan bahwa penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sistem penyuluhan adalah seluruh rangkaian pengembangan kemampuan, pengetahuan, keterampilan, serta sikap pelaku utama dan pelaku usaha melalui penyuluhan. Penyuluhan pertanian termasuk penyuluhan peternakan merupakan bagian dari pembangunan masyarakat pertanian yang diartikan sebagai pembangunan pertanian yang memihak petani. Dalam pelaksanaannya memerlukan berbagai perangkat material dan non-material, terutama keberanian untuk memihak. Elemen terpenting di dalam mengimplementasikan pembangunan masyarakat pertanian adalah elemen pemberdayaan sumber daya manusia petani yang menempati posisi sangat strategis yaitu berperan sebagai pelaku utama dan subyek pembangunan (prime mover to development).

Untuk memberdayakan petani peternak (farmer development) peran penyuluhan memiliki posisi yang strategis dan kunci utama keberhasilan pemberdayaan peternak adalah percaya kepada peternak. Dengan demikian, peran peternak dalam pembangunan masyarakat sebagai penentu keberhasilan pembangunan yang sangat berperan aktif dalam seluruh aspek kegiatannya. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi termasuk kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan peternakan. Pembangunan peternakan yang berdimensi masyarakat harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat berakhir di peternak dan berawal dari peternak. Konsep inilah yang akan menggeser paradima farmer last-top down menjadi farmer first-botton up.

Pemberdayaan peternak dapat berarti meningkatkan kemampuan atau kemandirian peternak dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan peternak untuk dapat berkembang. Disamping itu peningkatan kemampuan peternak dalam membangun termasuk kelembagaan peternak (kelompok tani) dan melakukan perlindungan melalui pemihakan kepada yang lemah dengan mencegah persaingan yang tidak seimbang serta menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan. Peran kelompok tani ternak sangat strategis sebagai wadah peternak untuk melakukan hubungan atau kerjasama dengan menjalin kemitraan usaha dengan lembaga-lembaga terkait dan sebagai media dalam proses transfer atau adopsi teknologi peternakan.

Berbicara tentang teknologi peternakan, merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan, karena teknologi sebagai alat untuk mencapai tujuan usaha peternakan disamping peternak sebagai subyek, ternak sebagai obyek, serta lahan dan lingkungan sebagai basis ekologi pengembangan peternakan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat sejumlah peternak dalam mengadopsi suatu teknologi peternakan hanya mengadopsi komponen tertentu saja dari keseluruhan teknologi yang diintroduksi. Beberapa penyebab rendahnya adopsi teknologi peternakan adalah keuntungan nilai tambah yang diperoleh peternak relatif kurang bila teknologi itu diadopsi, teknologi tidak memiliki daya adaptif atau kesesuaian dengan kondisi wilayah, sosial budaya setempat, serta keterbatasan yang dimiliki oleh peternak seperti keterbatasan dalam hal modal/biaya atas teknologi tersebut.

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan adopsi teknologi peternakan adalah memilih inovasi teknologi tepat guna yang memenuhi kriteria seperti teknologi harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh peternak, dan dapat memecahkan masalah yang sedang dihadapi petani sehingga diperlukan identifikasi masalah peternak secara benar, dan memberikan solusi masalah tersebut dengan inovasi teknologi. Selain itu, teknologi harus memberi keuntungan secara konkrit bagi peternak dan dijamin akan memberikan keuntungan lebih dibanding teknologi yang sudah ada. Jika hal ini terjadi, niscaya petani akan mempunyai semangat untuk mengadopsi teknologi tersebut. Teknologi untuk para peternak harus menggunakan sumberdaya yang sudah peternak miliki, dan jika sumberdaya dari luar diperlukan harus murah dan dapat diperoleh secara teratur, sehingga perlu adanya inventarisasi sumberdaya lokal yang tersedia dan memberikan teknologi yang memanfatkan sumberdaya lokal tersebut.

Kriteria lainnya yang harus dipenuhi oleh sebuah teknologi peternakan agar dapat diadopsi oleh peternak adalah teknologi harus sederhana, tidak rumit dan mudah dicoba peternak. Semakin mudah teknologi baru untuk dapat dipraktekkan, maka makin cepat pula proses adopsi inovasi yang dilakukan petani. Oleh karena itu, agar proses adopsi dapat berjalan cepat, maka penyajian inovasi harus lebih sederhana. Dengan demikian kompleksitas suatu inovasi mempunyai pengaruh yang besar terhadap percepatan adopsi inovasi. Untuk menemukan teknologi dengan kriteria tersebut, dilakukan dengan mengevaluasi apakah teknologi yang diintroduksikan sederhana (tidak rumit), jika memang rumit dilakukan peragaan, percontohan, pelatihan secara partisipatif.

Untuk itu perlu adanya pemahaman bagi setiap pelaku peternakan khususnya pihak luar yang akan mengintroduksi suatu teknologi peternakan kepada peternak bahwa proses adopsi teknologi melalui beberapa tahapan yaitu kesadaran (awareness), perhatian (interest), penaksiran (evaluation), percobaan (trial), adopsi (adopsi), konfirmasi (confirmation). Untuk mempermudah dalam memahami proses adopsi, dapat diberikan illustrasi tentang adopsi teknologi pengolahan limbah pertanian misalnya jerami padi sebagai pakan ternak. Jika peternak telah diperkenalkan teknologi tersebut, maka sejak itu peternak mengalami proses mental untuk menerima atau menolak teknologi tersebut, dengan tahapan pertama adalah peternak menyadari bahwa pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan dapat meningkatkan produktivitas ternak sapi (kesadaran). Selanjutnya peternak mulai tertarik terhadap teknologi dan mencari informasi tambahan dan lainnya mengenai hal tersebut (perhatian). Tahapan selanjutnya yang terjadi adalah peternak memikirkan dan menimbang apakah mampu membiayai segala biaya yang ditimbulkan dari teknologi, apakah teknologi benar-benar bermanfaat atau apakah peternak lainnya mau membantu mengerjakan teknologi tersebut (penaksiran), dan peternak mencoba teknologi pada saat musim panen padi, dan jika tahap ini berhasil maka akan berlanjut ke tahap adopsi, dan jika gagal maka akan ke tahap penolakan (percobaan).

Setelah peternak melakukan percobaan terhadap teknologi, peternak akan mengulangi misalnya pada musim penen berikutnya, peternak memutuskan untuk tetap melakukan teknologi pengolahan limbah pertanian dengan jumlah yang lebih besar. Jika tahap ini berhasil maka adopsi akan berlanjut, dan jika gagal maka akan ke tahap penolakan (adopsi). Setelah mengadopsi teknologi, peternak akan meminta informasi kepada peternak lainnya atau petugas penyuluh tentang apa yang dialami terkait teknologi tersebut sehingga akan diputuskan apakah teknologi akan dilanjutkan atau ditolak (konfirmasi).

Akhirnya untuk meningkatkan adopsi teknologi peternakan diperlukan adanya penyuluhan. Penyuluhan sangat memiliki peranan penting dalam pengembangan peternakan khususnya dalam peningkatan proses adopsi teknologi peternakan kepada peternak. Keberhasilan penyuluhan sangat ditentukan oleh model penyuluhan, dimana model penyuluhan harus didesain atas dasar analisis kebutuhan peternak yang dilakukan secara partisipatif yaitu adanya kesesuaian metode, materi dan media yang digunakan, karena teknologi peternakan tidak diadopsi dapat diakibatkan oleh salah satunya kesalahan dalam memilih model penyuluhan.

Rabu, 29 Oktober 2008

PERSEPSI PETERNAK TERHADAP PEMANFAATAN LIMBAH TANAMAN PANGAN SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA DI KABUPATEN BULUKUMBA, SULAWESI SELATAN

Agustina Abdullah
Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan
Fak. Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar

PENDAHULUAN
Saat ini pembangunan peternakan khususnya ternak ruminansia diharapkan mampu menjadi salah satu lokomotif pembangunan khususnya dalam penyediaan sumber protein hewani berupa daging dan susu dalam rangka meningkatkan konsumsi pangan masyarakat. Namun demikian, peternakan sebagian besar berkembang pada skala peternakan rakyat yang berbasis di pedesaan dengan skala usaha masih tergolong skala usaha kecil. Di lain pihak, keberhasilan usaha peternakan ditentukan oleh beberapa faktor yaitu pemuliaan dan reproduksi, pengelolaan usaha dan pemeliharaan ternak, pencegahan penyakit dan pengobatan, peralatan dan bangunan, serta penyediaan dan pemberian pakan. Pakan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan usaha peternakan karena sekitar 70% dari biaya produksi dari usaha peternakan adalah biaya pakan. Ketersediaan pakan yang kontinyu dengan kualitas baik dan kuantitas yang cukup menjadi faktor penentu keberhasilan peternakan.

Pengembangan peternakan sangat terkait dengan pengembangan wilayah. Kabupaten Bulukumba adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang berpotensi untuk pengembangan peternakan. Jenis ternak ruminansia yang banyak dikembangkan adalah ternak sapi dan kambing. Berdasarkan data statistik peternakan tahun 2006, Kabupaten Bulukumba merupakan kabupaten penghasil ternak sapi terbesar keempat di Sulawesi Selatan yakni 66.395 ekor atau 8,84% dari total populasi di Sulawesi Selatan. Ternak yang lain adalah kambing yakni 27.170 ekor atau 5,21% dari total produksi di Sulawesi Selatan (BPS SULSEL, 2007). Disamping peternakan, wilayah ini memproduksi berbagai tanaman pangan. Sebagai illustrasi, tahun 2006 Kabupaten Bulukumba termasuk penghasil kacang tanah terbesar kedua (4.368 ton) dan jagung terbesar keempat (64.379 ton) di Sulawesi Selatan atau masing-masing 10,3% dan 12,0% dari total produksi di Sulawesi Selatan. Produksi yang lain adalah padi 142.165 ton, ubi jalar 2.898 ton, ubi kayu 26.943 ton, kedelei 165 ton, serta kacang hijau 145 ton. Besarnya produksi tanaman pangan memberikan implikasi terhadap meningkatnya jumlah limbah tanaman pangan yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia. seperti jerami padi, jerami jagung, jerami kedelei, pucuk ubi kayu, jerami kacang tanah, serta jerami ubi jalar. Ketersediaan limbah tanaman pangan dipengaruhi oleh luas areal panen komoditi tanaman pangan di suatu daerah, dimana semakin tinggi luas areal panen maka produksi limbah tanaman pangan akan semakin besar.

Khusus ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, hijauan merupakan sumber makanan utamanya. Hijauan pakan yang umum diberikan untuk ternak ruminansia adalah rumput-rumputan yang berasal dari padang penggembalaan atau padang rumput, tegalan, pematang serta pinggiran jalan. Beberapa kendala dalam penyediaan hijauan adalah perubahan fungsi lahan yang sebelumnya sebagai sumber hijauan menjadi lahan pemukiman, lahan tanaman pangan, dan tanaman industri sehingga lahan padang penggembalaan sebagai sumber hijauan berkurang. Di samping itu ketersediaan hijauan juga dipengaruhi oleh musim, dimana saat musim hujan produksi hijuan tinggi di lain pihak saat musim kemarau produksi hijauan kurang (Syamsu et al., 2003).

Salah satu upaya untuk mengatasi keterbatasan sumber hijauan untuk memenuhi kebutuhan hijauan pakan ternak ruminansia adalah dengan memanfaatkan limbah tanaman pangan. Lahan tanaman pangan yang semakin luas menyebabkan luas areal panen meningkat, sehingga produksi limbah pertanian juga meningkat. Oleh sebab itu pemanfaatan limbah tanaman pangan adalah alternatif yang tepat sebagai sumber pakan untuk ternak ruminansia. Untuk itu penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui persepsi peternakan terhadap pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survei dengan melakukan wawancara kepada peternak (responden). Wawancara menggunakan bantuan kuisioner terstruktur dengan jawaban terbuka dan tertutup. Penelitian dilaksanakan pada lokasi (kecamatan) berdasarkan kepadatan ternak wilayah. Kepadatan ternak wilayah dihitung menurut Ditjen Peternakan dan Balitnak (1995). Berdasarkan kepadatan ternak wilayah, kecamatan lokasi terpilih adalah Kecamatan Gangking mewakili wilayah dengan kepadatan ternak ruminasia dalam kategori rata-rata, dan Kecamatan Bulukumba mewakili wilayah dengan kepadatan ternak ruminansia dengan kategori padat.
Pemilihan petani peternak yang terlibat dalam penelitian dilakukan secara acak (simple random sampling) menurut Mantra dan Kasto (1995). Jumlah responden yang terlibat sebanyak 96 peternak di dua kecamatan lokasi penelitian (Kecamatan Gangking dan Bulukumba) dengan dua desa untuk setiap kecamatan. Untuk menggali informasi lebih mendalam dilakukan focus group discussion dengan peternak. Di samping itu dilakukan pula wawancara secara mendalam (indepth study) kepada beberapa informan kunci. Data primer yang digali dari peternak responden meliputi karakteristik responden yaitu umur, pendidikan, pengalaman beternak; aspek manajemen pakan yaitu sistem pemberian pakan, jenis pakan, penggunaan pakan tambahan, penyediaan pakan ; dan pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan, serta penggunaan terknologi pakan. Data hasil survei evaluasi pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia dianalisis secara statistik deskriptif (Mattjik dan Sumertajaya, 2000) dengan tabulasi data, konversi data, rataan data dan diolah dengan menggunakan bantuan SPSS versi 12.0.1.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan survei terhadap responden dapat diketahui keadaan umum peternak responden yaitu umur peternak, tingkat pendidikan, pekerjaan utama, dan pengalaman beternak.Umur peternak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pendapatan dan efisiensi ekonomi. Menurut Soekartawi (1988) bahwa umur peternak selaku tenaga kerja pada usaha tani di pedesaan sering menjadi penentu besar kecilnya penerimaan. Bila dikaji dari karakteristik umur responden, sebagian besar peternak dalam kategori usia yang produktif 20-45 tahun yaitu 77.08%, sementara peternak yang berumur diatas 50 tahun sebanyak 22.92%. Chamdi (2003) mengemukakan, semakin muda usia peternak umumnya rasa keingintahuan terhadap sesuatu semakin tinggi dan minat untuk mengadopsi terhadap introduksi teknologi semakin tinggi.
Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam mengembangkan sumber daya peternak. Pendidikan akan menambah pengetahuan dan keterampilan sehingga akan meningkatkan produktivitas kerja yang akan menentukan keberhasilan usahanya. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pendidikan peternak sebagian besar (56,25%) berpendidikan sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama, sedangkan yang tamat SLTA sebesar 16,67% dan hanya 1,04% yang tamat perguruan tinggi. Namun demikian, jumlah responden yang tidak menamatkan pendidikan sekolah dasar sebesar 26,04%.

Pekerjaan responden didominasi oleh petani yaitu 83,33%. Responden lainnya berprofesi sebagai pedagang, pegawai dan pensiunan masing-masing 8,33%, 4,17% dan 1,04%. Hal yang cukup menarik untuk dikemukakan adalah adanya keterlibatan perempuan (ibu rumah tangga) dalam mengelola usaha tani ternak, yaitu sebesar 3,13%. Soejana (1993) menyatakan bahwa pada umumnya penduduk pedesaan mencurahkan perhatiannya pada usaha pokoknya yaitu sebagai petani sehingga dalam pemeliharaan ternaknya kurang diperhatikan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar usaha peternakan dilakukan sebagai usaha sambilan sehingga perhatian peternak terhadap usaha peternakannya kurang baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peternak sebagian besar (76,05%) pengalaman beternaknya antara 10-30 tahun. Pengalaman beternak yang diperoleh peternak sebagian besar diperoleh dari orang tuanya secara turun temurun. Dengan pengalaman beternak yang dimiliki, peternak mempunyai tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan peternak pada aspek reproduksi, pemberian pakan, tatalaksana pemeliharaan sehingga mengakibatkan pengelolaan usaha tani ternak akan lebih baik.

Sistem pemeliharaan ternak di Kabupaten Bulukumba sebanyak 64,59% peternak responden melepas ternaknya pada siang hari dan diikat pada malam hari, serta mengkandangkan ternaknya pada malam hari saja. Sisanya, 14,58% peternak mengkandangkan ternaknya sepanjang hari dan melepas ternaknya sepanjang hari (20.83%). Peternak yang memilih melepas ternaknya sepanjang hari memiliki persepsi bahwa keamanan ternak mereka lebih terjamin jika dilepas berpencar, termasuk di malam hari, daripada jika dikandangkan. Alasannya, jika pada malam hari ternak dikandangkan ditinjau dari sisi keamanan (pencurian ternak) akan lebih mudah dan jumlah ternak yang dicuri lebih banyak karena terkonsentasi dalam satu tempat (kandang). Berbeda jika dilepas begitu saja, pencuri akan kesulitan mengejar dan mengumpulkan ternak jika pemiliknya melepasnya pada lahan yang luas.
Di lain pihak, bagi peternak yang mengkandangkan ternaknya sepanjang hari (intensif) dilakukan untuk mempermudah dalam hal pemberian pakan. Namun, peternak yang melakukan pengankandangan ternak hanya pada malam hari saja untuk keamanan dari pencurian ternak. Persepsi peternak dalam melihat dan mengantisipasi risiko kecurian ternak memang berbeda-beda, namun masing-masing peternak merasa yakin dengan sistem pemeliharaan yang dilakukan.
Manajemen pemeliharaan ternak tersebut di atas, sangat berpengaruh terhadap aspek manajemen pemberian pakan. Ternak yang dilepas oleh pemiliknya memiliki peluang untuk memperoleh pakan antara lain dari rumput di pematang sawah, pekarangan atau padang penggembalaan. Peternak yang memberikan pakan bagi ternaknya dengan cara merumput di pematang sawah/pekarangan yaitu 32,29%. Sistem pemberian pakan yang banyak dilakukan oleh peternak adalah merumput di sawah, kebun, pekarangan serta diberi rumput potongan (56,25%) dan merumput di padang penggembalaan hanya 11,46%. Kurangnya peternak melakukan penggembalaan ternak karena selain lokasi padang penggembalaannya jauh, juga belum tentu ternak akan mendapat rumput yang disukainya. Hal di atas menunjukkan bahwa lahan garapan yaitu sawah dan kebun menjadi basis ekologis bagi ternak sebagai penyedia hijauan dan tempat pemeliharaan ternak, sementara lahan padang penggembalaan terdapat indikasi berkurang ditunjukkan dengan rendahnya peternak yang melepas ternaknya di pandang penggembalaan. Terdapat kecenderungan ketersediaan hijauan pakan di padang penggembaalan sangat terbatas dan keberadaannya di pedesaan jauh dari pemukiman penduduk (Setiadi, et al. 1995). Dari paparan tersebut, menunjukkan bahwa peternak cenderung memelihara ternak secara tradisional dan alami. Hal ini dipengaruhi oleh pekerjaan bukan hanya sebagai peternak, akan tetapi kadang-kadang merangkap sebagai petani penggarap sawah ketika musim hujan/tanam, sehingga memelihara ternak secara intensif belum dilakukan secara optimal. Para peternak cenderung menggunakan rumput saja karena lebih mudah pemberiannya untuk ternak. Sedangkan untuk menggunakan daun-daunan dan limbah pertanian, dianggap merepotkan dalam penyediaannya.
Pakan tambahan yang diberikan peternak yaitu dedak, konsentrat, garam, dedak dan garam, serta mineral. Pakan tambahan berupa dedak, paling banyak digunakan peternak (60,42%). Selain menggunakan dedak, pakan tambahan lainnya yang digunakan yaitu garam. Peternak memberikan pakan tambahan biasanya dicampurkan dengan pakan lainnya seperti rumput. Konsentrat dan mineral, tidak digunakan sebagai pakan oleh responden yang disurvei, di samping harganya mahal dan ternak yang dipelihara lebih menyukai jika diberikan pakan dedak atau garam saja.
Dilain pihak, dalam penyediaan pakan, peternak menempuh empat cara yaitu menanam rumput, menanam leguminosa, menanam rumput dan leguminosa, serta pengawetan hijauan (hay, silase, amoniasi, dll). Namun demikian, sebesar 57,29% menyatakan bahwa ketersediaan pakan tidak tersedia setiap saat atau fluktuatif/musiman, dimana saat musim kemarau hijauan tidak/kurang tersedia.
Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan di Kabupaten Bulukumba tergolong masih rendah. Hal ini dapat dilihat bahwa dari total 96 responden dari dua kecamatan yang disurvei, masih banyaknya peternak yang tidak menggunakan limbah tanaman pangan sebagai pakan yaitu 55,21% dari total responden, dan sebanyak 44,79% responden menggunakan limbah tanaman pangan sebagai pakan. Alasan limbah tanaman pangan tidak digunakan sebagai pakan, peternak memberikan beberapa argumentasi antara lain a) masih menganggap ketersediaan rumput alam masih mencukupi untuk ternak, b) setelah panen khususnya padi, secepatnya dilakukan pembersihan sawah karena akan dilakukan penanaman kembali terutama pada pola pertanian yang intesif sehingga jerami padi dibakar, c) sulitnya mengumpulkan jerami padi dan pengangkutannya ke sekitar rumah (pemukiman), karena lahan sawah relatif jauh dari rumah.

Dilain pihak, persepsi peternak yang menggunakan limbah tanaman pangan (44,79% peternak), yaitu a) limbah tanaman pangan dapat menjadi sumber pakan alternatif, khususnya jika hijauan rumput tidak tersedia terutama saat musim kemarau, b) limbah tanaman pangan dapat dijadikan sebagai stok pakan dengan cara melakukan penyimpanan. Cara penyimpanan yang dilakukan peternak tergolong masih konvensional dengan menyimpan/ditumpuk di bawah kolong rumah.
Tabel 3 memperlihatkan bahwa dari sejumlah peternak yang menggunakan limbah sebagai pakan, sebagian besar menggunakan jerami padi, jerami jagung dan jerami kedelai masing-masing 28, 26 dan 27 responden. Tingginya jumlah peternak yang menggunakan jerami padi dan jerami jagung sebagai pakan dibandingkan dengan limbah yang lain disebabkan karena jumlah produksi limbah tersebut lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan limbah yang lain. Di samping menggunakan jerami padi, jagung dan kedelai, limbah yang lain juga digunakan sebagai pakan. Jumlah responden yang menggunakan jerami kacang tanah, jerami kacang hijau, jerami ubi jalar dan pucuk ubi kayu masing-masing 18,60%; 11,63%; 16,28 dan 11,63% dari total responden.
Terkait dengan teknologi pakan, Tabel 3 menunjukkan bahwa 54 responden atau 56,25% mengetahui tentang teknologi pakan, dan selebihnya tidak mengetahui teknologi pakan. Para peternak mengetahui teknologi pakan melalui berbagai sumber seperti pelatihan, bimbingan dan demonstrasi yang dilakukan aparat dinas peternakan atau instansi lainnya, serta dari sumber media cetak dan elektronik. Jenis teknologi yang diketahui oleh peternak adalah amoniasi atau fermentasi lainnya yang mencapai 50% peternak. Namun demikian, bagi peternak yang mengetahui teknologi pakan hanya 24,07% yang menerapkan atau melakukan teknologi tersebut.
Beragam alasan yang dikemukan terkait tidak diterapkannya teknologi tersebut antara lain, menganggap teknologi pakan tidak efektif dan hanya menghabiskan/membuang waktu saja. Di samping itu peternak terkendala dengan penyimpanan limbah, biaya pengolahan limbah yang dianggapnya mahal, dan kendala transportasi pengangkutan dari tempat asal limbah ke tempat penyimpanan/pemukiman. Peternak akhirnya beranggapan bahwa akan lebih efektif dan tidak mengeluarkan biaya jika teknologi tersebut tidak diterapkan. Penyimpanan yang dilakukan selama ini oleh para peternak juga tidak dalam jumlah besar. Pengambilan limbah pertanian biasanya dilakukan saat mereka meninggalkan sawah mereka dan menyimpan limbah ke dalam karung-karung kecil untuk dibawa ke rumahnya. Peternak pun mengambilnya tidak setiap saat, namun pengambilan dilakukan saat mereka merasa membutuhkannya atau ketika ternak peliharaannya tidak dilepas merumput. Menurut Ghosh, et al (2004) bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi adopsi peternak terhadap suatu inovasi teknologi yaitu (a) sifat/karakter individu/kelompok yang melakukan tindakan adopsi, (b) faktor sosial, ekonomi dan budaya, (c) penampilan dan kesesuaian teknologi, dan (d) faktor eksternal yaitu pelayanan dan kebijaksanaan dari lembaga terkait.

KESIMPULAN
Secara umum peternak dalam manajemen pemeliharaan ternak ruminansia khususnya sapi potong masih dalam skala usaha tradisional yaitu dengan sistem dilepas sepanjang hari, dan dilepas siang hari dan hanya diikat di malam hari. Dengan demikian, untuk memanfaatkan limbah tanaman pangan mengalami kendala dalam pemberian pakan kepada ternak, sehingga jumlah peternak yang menggunakan limbah tanaman pangan sebagai pakan masih kurang.
Persepsi peternak yang menggunakan limbah tanaman pangan sebagai pakan memiliki pandangan dan persepsi bahwa limbah tanaman pangan dapat a) menjadi sumber pakan alternatif, khususnya jika hijauan rumput tidak tersedia terutama saat musim kemarau, b) dijadikan sebagai stok pakan dengan cara melakukan penyimpanan dan pengawetan dengan sentuhan teknologi pakan.
Jenis teknologi pakan yang diketahui peternak yaitu amoniasi jerami, hay, fermentasi dan teknologi silase. Namun demikian, peternak masih kurang yang menerapkan teknologi tersebut. Beberapa hal yang menjadi alasan sehingga teknologi pakan tidak dilakukan yaitu menganggap teknologi pakan tidak efektif, hanya menghabiskan/membuang waktu saja, terkendala dengan penyimpanan limbah, biaya pengolahan limbah dan transportasi pengangkutan dari tempat asal limbah ke tempat penyimpanan/pemukiman mahal.

DAFTAR PUSTAKA
BPS SULSEL. 2007. Sulawesi Selatan dalam Angka 2006. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar

Chamdi, A. N. 2003. Kajian profil sosial ekonomi usaha kambing di kecamatan Kradenan kabupaten Grobogan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 29-30 September 2003. Puslitbang Peternakan Departemen Pertanian, Bogor.

Ghosh, R.K , A. Goswami and A. K. Mazumdar. 2004. Adoption behaviour of dairy farmers in Co-operative Farming Systems. Livestock Research of Rural Development 16 (11). http://www.cipav.org.co/lrrd/lrrd16/11/trach132.htm. [21 Agustus 2006].

Direktorat Jenderal Peternakan dan Balai Penelitian Ternak. 1995. Pedoman Analisis Potensi Wilayah Penyebaran dan Pengembangan Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Balai Penelitian Ternak, Jakarta

Mantra, I. B dan Kasto. 1995. Penentuan sampel. Di dalam : Singarimbun A, Effendi S, editor. Metode Penelitian Survai. LP3ES, Jakarta.

Mattjik, A. A dan M, Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan. Jilid I. IPB Press, Bogor

Setiadi, B, Subandrio, L.C. Iniguez. 1995. Reproductive performance in small ruminant on outreach pilot project in West Java. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1: 73-80.

Soejana, T.D. 1993. Ekonomi Pemeliharaan Ternak Ruminansia Kecil. Di dalam : Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press, Surakarta

Soekartawi, 1988. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Rajawali, Jakarta.

Soetanto, H. 2001. Teknologi dan Strategi Penyediaan Pakan dalam Pengembangan Industri Peternakan. Makalah Workshop Strategi Pengembangan Industri Peternakan, Makassar 29-30 Mei 2001. Fakultas Peternakan UNHAS dan Puslitbang Bioteknologi LIPI, Makassar

Syamsu, J.A., L.A.Sofyan, K.Mudikdjo dan E.Gumbira Sa'id. 2003. Daya dukung limbah pertanian sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia. Wartazoa 13(1) : 30-37

Senin, 27 Oktober 2008

PENGUATAN KELOMPOK TANI TERNAK DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PETERNAKAN

Agustina Abdullah
Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan Fak.Peternakan UNHAS
(Buletin Peternakan. Edisi XXVIII. Dinas Peternakan Prov. Sul Sel)
PENDAHULUAN

Keberhasilan pembangunan pertanian khususnya peternakan sangat ditentukan oleh kemampuan atau kapasitas sumberdaya manusia peternakan khusunya peternak sebagai pelaku pembangunan. Sebagai pelaku pembangunan, peternak diharapkan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam mengelola usahatani ternak. Selama ini mereka didekati melalui pendekatan kelompok untuk diberdayakan.
Secara teoritis pengembangan kelompok tani ternak dilaksanakan dengan menumbuhkan kesadaran para peternak, dimana keberadaan kelompok tani tersebut dilakukan dari, oleh dan untuk peternak. Pengembangan kelompok tani perlu dilaksanakan dengan nuansa partisipatif sehingga prinsip kesetaraan, transparansi, tanggungjawab, akuntabilitas serta kerjasama menjadi muatan-muatan baru dalam pemberdayaan peternak. Suatu kelompok tani yang terbentuk atas dasar adanya kesamaan kepentingan diantara peternak menjadikan kelompok tani tersebut dapat eksis dan memiliki kemampuan untuk melakukan akses kepada seluruh sumberdaya seperti sumberdaya alam, manusia, modal, informasi, serta sarana dan prasarana dalam mengembangan usahatani yang dilakukannya.
Pemberdayaan peternak dapat berarti meningkatkan kemampuan atau kemandirian peternak dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan peternak untuk dapat berkembang. Disamping itu peningkatan kemampuan peternak dalam membangun termasuk kelembagaan peternak (kelompok tani) dan melakukan perlindungan melalui pemihakan kepada yang lemah dengan mencegah persaingan yang tidak seimbang serta menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan.
Peran kelompok tani ternak sangat strategis sebagai wadah peternak untuk melakukan hubungan atau kerjasama dengan menjalin kemitraan usaha dengan lembaga-lembaga terkait dan sebagai media dalam proses transfer teknologi dan informasi. Dilain pihak, secara internal kelompok tani ternak sebagai wadah antar peternak ataupun antar kelompok tani dalam mengembangkan usahataninya.

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Rasjid (2005), menyatakan bahwa philosofi pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebenarnya belajar dari alam dengan mempelajari bagaimana proses penetasan telur berlangsung atau bagaimana proses pembenihan berlangsung. Telur dapat dianonimkan dengan masyarakat (community). Jika ingin menetaskan telur, maka telur tersebut terlebih dahulu harus diperiksa apakah telur tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan, bila telur tersebut dibuahi, maka telur tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan untuk menjadi anak ayam. Telur yang telah dibuahi tersebut kemudian diperiksa mengenai kebutuhannya untuk berkembang dengan baik. Berdasarkan hasil penelitian atau berdasarkan empirik, telur tersebut hanya membutuhkan panas secara berkesinambungan setinggi 370C selama 21 hari. Bila hal tersebut dipenuhi, maka bibit ayam yang ada dalam telur tersebut akan keluar menjadi anak ayam yang akan mandiri mencari pakan. Tetapi bila telur tersebut diberi panas di atas yang dibutuhkan, maka telur tersebut akan menjadi telur masak, dan bila panasnya dibawah dari yang dibutuhkan maka telur tersebut akan menjadi telur busuk. Demikian pula bila waktu proses pengembangannya dikurangi dari waktu yang dibutuhkannya, maka telur tersebut akan mengalami nasib kematian bibit, dengan kata lain telur tersebut tidak akan menetas.
Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat identik dengan proses seperti apa yang terjadi pada proses pengembangan telur tersebut. Untuk mengembangkan dan memberdayakan masyarakat, maka pertama-tama yang harus dilakukan adalah melaksanakan analisis situasi, mengajar masyarakat untuk menganalisis, kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan, menganalisis kebutuhannya, mengidentifikasi masalahnya, mengidentifikasi sumber daya lainnya, kemudian memotivasi untuk meningkatkan kemampuan agar proses pengembangan dapat berlangsung. Tetapi motivasi, dinamisasi harus berlangsung selama waktu tertentu sesuai dengan waktu yang dibutuhkan oleh masyarakat tersebut untuk dapat berkembang sampai pada poin kelestarian (sustainabilitas). Berdasarkan pengalaman empirik pengembangan masyarakat dapat mencapai pada poin kelestarian apabila dikembangkan secara berkesinambungan selama 2 sampai 5 tahun tergantung dari kondisi awal masyarakat, utamanya mengenai level pendidikan, aksessibilitas lokasi pemukiman masyarakat, pola pikir, visi, sikap dan perilaku masyarakat.

PENTINGNYA KELOMPOK TANI DALAM AGRIBISNIS PETERNAKAN
Pengembangan agribisnis di pedesaan pada dasarnya mengisyaratkan adanya pertumbuhan skala dan jumlah produksi, perluasan jangkauan pemasaran, dan adanya perkembangan usaha pasca panen dan komersialisasi usaha. Untuk mempercepat dan terjadinya akselerasi dalam pertanian (agro) pedesaan diperlukan kondisi dimana semangat bersama muncul dari mereka yang terlibat (peternak dalam kelompok) untuk mengubah cara pandang bertani secara individu menjadi orientasi baru dalam melipatgandakan produksi dan pendapatan (bisnis). Dinamisasi individu dalam kelompok diharapkan menimbulkan semangat pengusaha tani (farmer) dalam pertanian modern.
Oleh karena itu, keutamaan kelompok dalam menumbuhkan dan mengembangkan agribisnis yang masih tradisional sangat direkomendasikan, mengingat wadah kelompok tidak hanya para peternak berkumpul untuk membicarakan dan merasakan cara hidup mereka, tetapi juga kemungkinan timbulnya pertukaran informasi (problem solving), pembentukan modal dan proses perdagangan dalam skala memadai untuk mencapai pasar yang potensial.
Agribisnis dalam kelompok tani merupakan suatu konsep yang satu (agribisnis) dan yang lain (kelompok), direncanakan secara bersama-sama sejak dari awal/perencanaan untuk waktu yang jauh ke depan. Dalam implementasinya, pembentukan kelompok atau penguatan kelompok harus di dahulukan dan kemudian dengan segera diikuti pengintegrasian sejumlah aspek yang berkaitan dengan tujuan pembentukan kelompok. Tujuan pembentukan kelompok tani umumnya dimaksudkan untuk tercapainya peningkatan pendapatan pada tingkat anggota (rumahtangga peternak). Dengan demikian, pengembangan agribisnis dalam kelompok pada hematnya mengacu pada sistim usaha (manajemen usaha) yang secara fungsional meliputi tiga elemen utama yang terpadu yaitu: produksi, pemasaran dan finansial. Sebagai usaha (bisnis) ketiga elemen tersebut di dalam organisasi kelompok secara bersama-sama berfungsi untuk mendapat keuntungan yang pada gilirannya mempengaruhi pendapatan para peternak.
Sebagaimana kelompok tani umumnya dibentuk dan diorgansisasikan yang dimulai dari hubungan tinggal dekat (satu dusun misalnya), diharapkan pada berikutnya dapat menjangkau wilayah lebih jauh dan lebih luas sampai ke tingkat desa, kecamatan dan bahkan ke tingkat kabupaten. Wilayah bisnis kelompok tani seperti ini tidak hanya semakin terbuka, tetapi juga semakin meluas dalam jangkauan. Akan tetapi hal itu hanya dapat terwujud jika di dalam organisasi kelompok terjadi kemajuan dan pertumbuhan. Oleh karenanya penguatan kelompok adalah satu kondisi awal yang perlu disiapkan sebelum semuanya dapat dimulai dalam perubahan skala produksi, jangkauan pemasaran, dan kebutuhan finansial yang dibutuhkan.
Dengan semakin kuatnya kinerja kelompok, sebenarnya semakin terintegrasinya semua sumberdaya yang ingin dibangkitkan, semakin meningkatnya pemahaman dan pengetahuan para anggota/peternak , semakin dikenal dan menjadi lebih mudah memperkenalkan ke wilayah yang lebih luas, semakin kuat untuk mempertahankan kelompok, serta semakin tingginya pengakuan pihak lain. Dimensi-dimensi yang harus dicapai dalam penguatan kelompok tani yaitu :
• Kelompok yang kuat dan lestari, selain mendapat pengakuan dari pihak lain, juga menjadi ‘agunan’ dalam mendapat bantuan/kredit dari donasi/kreditor dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan dalam proses memperbesar skala usaha tani.
• Kelompok yang mandiri dan berkesinambungan, lebih leluasa untuk merencanakan setiap langkah-langkah yang sudah diambil untuk mengkomunikasikan (dan memasarkan) hasil produksi baik dalam partai kecil maupun partai besar baik di dalam pasar komunal maupun pasar lokal (kecamatan dan kota).
• Kelompok yang solid dan rasa memiliki (sodalitas), memungkinkan untuk berbagi beban yang seharusnya dipikul sendiri menjadi terbantu karena adanya fungsi dan peran masing-masing anggota kelompok. Dalam hal ini setiap anggota kelompok dapat mengusahakan usaha tani dan ternaknya tetapi juga mendapat manfaat dari sistem pemasaran dan perdagangan yang dibebankan pada organisasi kelompok.
• Kelompok yang mampu mengorganisasikan semua anggotanya diharapkan tidak hanya berhasil dalam menumbuhkan proses produksi dan kenaikan hasil produksi tetapi juga terbuka untuk melakukan pemanfataan sumberdaya secara maksimal (produk utama maupun limbah) dan transformasi dari usaha primer (basis peternakan dan pertanian) ke usaha-usaha lain seperti industri rumahtangga, pengadaan input, pengangkutan dan lapangan kerja.
• Kelompok yang mampu bersatu akan menimbulkan kesadaran tentang apa yang dimiliki (potensi di sekitar lingkungan) dan bagaimana menghitungnya, membangkitkannya dan memikirkan tentang bagaimana seharusnya sumberdaya ditumbuh-kembangkan dan bagaimana memulihkan sumberdaya yang semakin menipis/hilang.

AGRIBISNIS TERINTEGRASI PETERNAKAN DAN PERTANIAN
Dalam pertanian arti luas dan lebih-lebih pada usaha tani dan ternak yang masih tradisional, peternakan dan pertanian merupakan dua hal yang mudah dibedakan tetapi pada dasarnya selalu saling terkait. Sebagai illustrasi, pada awalnya usaha peternakan, terutama ternak besar di usahakan secara ekstensif mengingat masih tersedianya lahan penggembalaan yang relatif luas. Namun dalam perjalanannya, pertumbuhan populasi ternak berbanding terbalik dengan semakin berkurangnya lahan yang memungkinkan untuk penggembalaan. Untuk mengatasi hal tersebut, produktivitas ternak per satuan lahan ditingkatkan dengan mengubah pola penggembalaan ekstensif menjadi intensif.
Dengan kata lain pola penggembalaan yang sebelumnya jauh dari tempat tinggal, lambat laun menjadi bagian dari pemukiman. Untuk pemeliharaan ternak kecil seperti kambing/domba dan unggas secara khas sudah menjadi bagian dari pola pengusahaan yang terkait lingkungan tempat tinggal. Saat ini terjadi pergerseran dimana usaha peternakan menjadi lebih terpadu antara ternak besar dan ternak kecil di dalam lingkungan yang lebih kecil/sempit.
Pola peternakan seperti dikemukakan di atas, membutuhkan luas lahan yang lebih sempit dan menjadi lebih ideal dikelola oleh suatu rumah tangga atau kelompok rumah tangga pertanian mengingat rentang kendali pengelolaan usaha tani menjadi lebih terjangkau. Peanekaragaman pengusahaan ternak memungkinkan untuk dilaksanakan dan masing-masing rumah tangga peternak dapat mengelola ternak dalam jenis yang bervariasi. Dengan demikian, selain terjadi diversifikasi usaha (ternak) juga kemungkinan terjadinya resiko beternak lebih kecil, karena masing-masing ternak memiliki resiko yang berbeda-beda baik terhadap penyakit, ketersediaan pakan maupun harga penjualan.
Dilain pihak, dengan intesifikasi peternakan yang dalam pengelolaannya berorientasi pada pertumbuhan populasi dan hasil produksi ternak (daging, susu, telur), tentu memerlukan jumlah biomas (pakan) yang memadai. Ini berarti sumber biomas memerlukan penanganan yang serius dan menjaganya selalu tersedia di dalam lingkungan yang terbatas. Usaha pertanian yang sebelumnya terlepas dari peternakan menjadi mutlak diusahakan secara terpadu mengingat sejumlah manfaat yang diperoleh jika peternakan-pertanian dikelola secara bersama-sama pada waktu yang sama di lingkungan sama. Ternak yang memerlukan dari output proses produksi pertanian (biomas), disisi lain proses produksi pertanian memerlukan input dari ternak berupa pupuk kandang maupun tenaga ternak yang dapat dimanfaatkan.
Oleh karenanya peranan masing-masing (peternakan dan pertanian) dapat membantu pencapaian tujuan produksi masing-masing. Dengan kata lain, peternakan membutuhkan produksi pertanian dan sebaliknya pertanian membutuhkan produksi peternakan. Ini berarti interaksi keduanya yang terjadi tidak hanya berdampak langsung pada hasil produksi tetapi juga karenanya dapat memberi kontribusi dalam pelestarian sistem lingkungan lebih-lebih lingkungan tempat tinggal peternak maupun peternak.

PENUTUP
Untuk memberdayakan masyarakat tani dan penguatan kelompok tani untuk pengembangan agribisnis peternakan sebagai langkah awal perlu dilakukan perubahan tata nilai dan budaya terhadap profesi peternak itu sendiri. Selama ini profesi peternak dianggap sebagai profesi rendah dibandingkan profesi lainnya, sehingga akibatnya sektor pertanian/peternakan cenderung ditinggalkan oleh tenaga profesional dan hanya digeluti oleh kalangan terbatas di pedesaan. Perlu adanya penghargaan lebih baik terhadap profesi peternak dengan mengangkat harkat dan martabatnya agar sektor pertanian dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat.
Menumbuhkan jiwa wirausaha di kalangan peternak adalah merupakan langkah yang juga harus ditempuh agar mampu mengelola usaha taninya lebih profesional. Selama jiwa wirausaha peternak tidak tumbuh, akan sulit menjadikan sektor pertanian menjadi kekuatan ekonomi yang tangguh. Memberdayakan peternak/kelompok tani dibutuhkan pula keberpihakan, komitmen, serta niat yang tulus untuk membela kepentingan peternak. Pemberdayaan masyarakat tani memang telah menjadi komitmen semua pihak, namun dibutuhkan langkah bijak agar peternak tidak terjebak dan menjadi korban dalam proses pemberdayaan itu sendiri.

BAHAN PUSTAKA
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2002. Pengembangan Kelembagaan Peternak di Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan. Direktorat Pengembangan Peternakan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta

Rasjid, S. 2005. Konsep Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat. Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar

Syamsu, J.A. 2003. Pengembangan Berkelanjutan Kegiatan Agribisnis Kelompok Tani. Laporan Senior Expert Pendampingan (Community Development and Capacity Building) Proyek Pengembangan Usaha Tani di Kawasan Timur Indonesia Propinsi Sulawesi Selatan, Makassar

PEMBUATAN JERAMI PADI AMONIASI SEBAGAI SUMBER PAKAN TERNAK POTENSIAL DI KECAMATAN UJUNG LOE KABUPATEN BULUKUMBA

(Program penerapan IPTEKS)
Oleh : Agustina Abdullah dan Hilda Ibrahim

BAB I. PENDAHULUAN

Analisis Situasi
Khusus ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, hijauan merupakan sumber makanan utamanya. Hijauan pakan yang umum diberikan untuk ternak ruminansia adalah rumput-rumputan yang berasal dari padang penggembalaan atau padang rumput, tegalan, pematang serta pinggiran jalan. Beberapa kendala dalam penyediaan hijauan adalah perubahan fungsi lahan yang sebelumnya sebagai sumber hijauan menjadi lahan pemukiman, lahan tanaman pangan, dan tanaman industri sehingga lahan padang penggembalaan sebagai sumber hijauan berkurang. Disamping itu ketersediaan hijauan juga dipengaruhi oleh musim, dimana saat musim hujan produksi hijuan tinggi dilain pihak saat musim kemarau produksi hijauan kurang (Syamsu, et al., 2003).
Pengembangan peternakan sangat terkait dengan pengembangan wilayah. Kabupaten Bulukumba adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang berpotensi untuk pengembangan peternakan. Jenis ternak ruminansia yang banyak dikembangkan adalah ternak sapi dan kambing. Berdasarkan data statistik peternakan tahun 2006, Kabupaten Bulukumba merupakan kabupaten penghasil ternak sapi terbesar keempat di Sulawesi Selatan yakni 66.395 ekor atau 8,84% dari total populasi di Sulawesi Selatan. Ternak yang lain adalah kambing yakni 27.170 ekor atau 5,21% dari total produksi di Sulawesi Selatan (BPS Sul Sel, 2007). Disamping peternakan, wilayah ini memproduksi berbagai tanaman pangan. Sebagai illustrasi, tahun 2006 Kabupaten Bulukumba termasuk penghasil kacang tanah terbesar kedua (4.368 ton) dan jagung terbesar keempat (64.379 ton) di Sulawesi Selatan atau masing-masing 10,3% dan 12,0% dari total produksi di Sulawesi Selatan. Produksi yang lain adalah padi 142.165 ton, ubi jalar 2.898 ton, ubi kayu 26.943 ton, kedelei 165 ton, serta kacang hijau 145 ton.
Besarnya produksi tanaman pangan memberikan implikasi terhadap meningkatnya jumlah limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia. Jenis limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan adalah jerami padi, jerami jagung, jerami kedelei, pucuk ubi kayu, jerami kacang tanah, serta jerami ubi jalar. Ketersediaan limbah pertanian dipengaruhi oleh luas areal panen komoditi tanaman pangan di suatu daerah, dimana semakin tinggi luas areal panen maka produksi limbah pertanian akan semakin besar.
Ketersediaan hijauan sebagai sumber pakan untuk ternak ruminansia memiliki beberapa kendala atau permasalahaan yakni ketersediannya secara musiman dimana pada musim hujan jumlahnya banyak dan pada musim kemarau jumlahnya sedikit. Lahan padang penggembalaan sebagai sumber hijauan berkurang karena lahan tersebut dikonversi menjadi lahan perkebunan, lahan tanaman pangan dan pemukiman. Untuk itu perlu alternatif lain untuk menutupi kebutuhan hijauan untuk ternak. Lahan tanaman pangan yang semakin diperluas menyebabkan luas areal panen meningkat, sehingga produksi limbah pertanian juga meningkat. Oleh sebab itu pemanfaatan limbah tanaman pangan khususnya jerami padi adalah alternatif yang tepat sebagai sumber pakan untuk ternak ruminansia.
Hasil penelitian Syamsu dan Abdullah (2008) menunjukkan bahwa jumlah populasi ternak ruminansia di Kabupaten Bulukumba (2006), yaitu 59.055,4 ST yang terdiri atas ternak sapi 65.833 ekor atau 50.497,5 ST, kerbau 5503 ekor atau 5164,2 ST, kambing 25.043 ekor atau 3393,6 ST. Khusus untuk kecamatan Ujung Loe jumlah populasi ternak sapi Ujung Loe 4762,6 ST. Populasi sapi dikecamatan lainnya Gangking 5828,1 ST, Ujung Bulu 362,0 ST, Bontobahari 2298,9 ST, Bontotiro 2881,1 ST, Herlang 6974,8 ST, Kajang 6365,8 ST, dan Rilau Ale 2627,9 ST.
Dengan jumlah populasi ternak ruminansia khususnya sapi yang telah dipaparkan di atas, dalam rangka pengembangannya perlu didukung oleh ketersediaan pakan hijauan. Salah satu sumber pakan yang dapat dimanfaatkan adalah limbah tanaman pangan khususnya jerami padi. Jerami padi memiliki potensi yang cukup besar untuk dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi potong. Jumlah produksi bahan kering jerami padi di Kabupaten Bulukumba adalah 140.488,6 ton. Jumlah ini merupakan produksi limbah tanaman pangan yang terbesar jika dibandingkan dengan produksi limbah lainnya yaitu jerami jagung 23.729,1 ton, pucuk ubi kayu 1637,6 ton, jerami ubi jalar 579,2 ton, jerami kacang tanah 11380,5 ton dan jerami kedelai 74,7 ton. Tingginya produksi jerami padi disebabkan karena luas areal panen padi yang lebih dibandingkan dengan komoditi tanaman pangan lainnya (Syamsu dan Abdullah, 2008).
Namun demikian, dengan jumlah produksi jerami padi yang cukup besar sebagai pakan sapi potong dalam pemanfaatannya sebagai pakan masih rendah. Abdullah dan Syamsu (2008) menyatakan bahwa pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan di Kabupaten Bulukumba tergolong masih rendah, yaitu sebanyak 55,21% peternak yang tidak menggunakan limbah tanaman pangan sebagai pakan yaitu 55,21%, dan sebaliknya hanya 44,79% peternak menggunakan limbah tanaman pangan sebagai pakan. Terkait dengan teknologi pakan, menunjukan bahwa 54 responden atau 56,25% mengetahui tentang teknologi pakan, dan selebihnya tidak mengetahui teknologi pakan. Para peternak mengetahui teknologi pakan melalui berbagai sumber seperti pelatihan, bimbingan, dan demonstrasi yang dilakukan aparat dinas peternakan atau instansi lainnya, serta dari sumber media cetak dan elektronik. Jenis teknologi yang diketahui oleh peternak adalah amoniasi atau fermentasi lainnya yang mencapai 50% peternak. Namun demikian, bagi peternak yang mengetahui teknologi pakan hanya 24,07% yang menerapkan atau melakukan teknologi tersebut.
Dengan demikian, paparan di atas memberikan gambaran bahwa di satu sisi jerami padi sebagai pakan menunjukkan produksi yang tinggi sebagai pakan, namun dalam pemanfaatannya sebagai pakan masih kurang digunakan oleh peternak. Hal ini diikuti oleh rendahnya tingkat adopsi teknologi pakan jerami padi yang juga rendah, yang tentunya diakibatkan oleh berbagai kendala yang dihadapi oleh peternak. Untuk itu kegiatan ini dilakukan untuk akselerasi dan peningkatan adopsi teknologi pakan amoniasi jerami padi untuk meningkatkan pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ruminansia khsusunya sapi potong di Kecamatan Ujung Loe Kabupaten Bulukumba.

Perumusan Masalah
Jerami padi memiliki potensi yang cukup besar sebagai pakan ternak. Namun demikian di Kecamatan Ujung Loe Kabupaten Bulukumba jumlah peternak yang memanfaatkannya sebagai pakan masih kurang, sehingga penggunaannya sebagai pakan belum optimal. Beberapa masalah yang menyebabkan jerami padi tidak/kurang digunakan sebagai pakan adalah a). peternak masih menganggap ketersediaan rumput alam masih mencukupi untuk ternak, b). setelah panen khususnya padi, secepatnya dilakukan pembersihan sawah karena akan dilakukan penanaman kembali terutama pada pola pertanian yang intesif sehingga jerami padi dibakar, c). sulitnya mengumpulkan jerami padi dan pengangkutannya ke sekitar rumah (pemukiman), karena lahan sawah relatif jauh dari rumah.
Dilain pihak, untuk memanfaatkan jerami padi sebagai pakan perlu dilakukan sentuhan teknologi untuk meningkatan kualitas jerami padi. Jerami padi sebagai makanan ternak masih memiliki keterbatasan yang disebabkan oleh tingginya kandungan silika dan rendahnya kandungan zat makanan seperti protein yang dibutuhkan oleh ternak. Karakteristik jerami padi ditandai dengan rendahnya kandungan nitrogen dan mineral esensial, sedang serat kasarnya yang tinggi sehingga kecernaannya hanya mencapai 37 %. Beberapa teknologi pengolahan jerami padi yang selama ini telah diaplikasikan ke peternak seperti hay, amoniasi jerami, fermentasi jerami belum berjalan dengan baik atau kurang diterapkan/digunakan dengan optimal.

Beberapa masalah yang menjadi hambatan sehingga tidak/kurang diterapkannya teknologi tersebut antara lain, peternak menganggap teknologi pakan tidak efektif dan hanya menghabiskan/membuang waktu saja. Disamping itu peternak terkendala dengan penyimpanan limbah, biaya pengolahan limbah yang dianggapnya mahal, dan kendala transportasi pengangkutan dari tempat asal limbah ke tempat penyimpanan/pemukiman. Peternak akhirnya beranggapan bahwa akan lebih efektif dan tidak mengeluarkan biaya jika teknologi tersebut tidak diterapkan.
Dengan demikian, terjadi kesenjangan antara jumlah/potensi jerami padi sebagai pakan ternak yang jumlahnya melimpah dan potensi tersebut belum dimanfaatkan dengan optimal. Disamping itu telah tersedia teknologi pakan jerami padi, namun kenyataan di lapangan pada tingkat peternak belum diterapkan sehingga tingkat adopsi teknologi belum berjalan/rendah.
Berdasarkan paparas di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang harus diselesaikan sebagai berikut :
1. Peternak umumnya masih beternak secara ekstensial tradisional dengan mengandalkan pakan ternak hijauan rumput. Sehingga pada musim kering ternak mengalami kekurangan pakan ternak hijauan yang bermutu.
2. Pengetahuan dan keterampilan peternak masih terbatas tentang berbagai pakan hijuan ternak yang berasal dari limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
3. Peternak belum memanfaatkan secara optimal limbah pertanian jerami padi sawah untuk menjadi pakan ternak.
4. Peternak kurang terampil dalam memanfaatkan jerami padi menjadi pakan ternak melalui proses amoniasi.
Untuk itu perlu dilakukan suatu kegiatan dalam mempercepat dan meningkatkan adopsi teknologi pakan amoniasi jerami padi dalam bentuk pelatihan sebagai upaya peningkatan optimalisasi pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak khususnya ruminansia di Kecamatan Ujung Loe Kabupaten Bulukumba.

Tujuan
Tujuan dilaksnakannya kegiatan penerapan ipteks adalah :
a) Untuk meningkatkan kemampuan, keterampilan, pengetahuan dan penguasaan teknologi penyediaan dan pengolahan pakan khususnya teknologi amoniasi jerami padi bagi peternak di Kecamatan Ujung Loe Kabupaten Bulukumba.
b) Mempercepat transformasi teknologi amoniasi jerami padi sebagai pakan untuk ternak di tingkat masyarakat (peternakan rakyat) yang dapat dikemas menjadi teknologi teknologi tepat guna.
c) Optimalisasi pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak ruminiansia khususnya ternak sapi dengan meningkatkan kualitas dan palatabilitasnya melalui teknologi amoniasi jerami padi.

Manfaat
Kegiatan penerapan ipteks ini memberikan manfaat sebagai berikut :
a) Peningkatkan ketersediaan pakan ternak secara berkesinambungan serta penanganan terhadap limbah pertanian khususnya jerami padi yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas ternak dan pendapatan peternak.
b) Peningkatkan pengetahuan dan keterampilan peternak tentang pemanfaatan limbah pertanian jerami padi agar dapat berdaya guna dan berhasil guna sebagai salah satu sumber pakan ternak spesifik lokasi.
c) Peternak terampil dalam pembuatan pakan ternak jerami padi Amoniasi, untuk meningkatkan dan mengembangkan ternaknya.
d) Peternak mempunyai keterampilan mengelola lingkungan hidupnya, sehingga usaha peternakan dapat berkelanjutan dan menjaga keseimbangan lingkungan hidup.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Sumberdaya Pakan
Pakan atau makanan ternak adalah bahan yang dapat dimakan, dicerna dan digunakan oleh ternak. Secara umum bahan makanan ternak adalah bahan yang dapat dimakan, tetapi tidak semua komponen dalam bahan makanan ternak tersebut dapat dicerna oleh ternak. Bahan makanan ternak mengandung zat makanan dan merupakan istilah umum, sedangkan komponen dalam bahan makanan ternak tersebut yang dapat digunakan oleh ternak disebut zat makanan (Tillman et al. 1989). Karena ternak umumnya tergantung pada tanaman sebagai sumber makanannya, maka Parra dan Escobar (1985) mengelompokkan pakan berdasarkan produk utamanya yaitu pakan yang berasal dari produk tanaman untuk manusia dan tanaman untuk makanan ternak, dengan klasifikasi seperti terlihat pada Gambar 2.
Dilain pihak, menurut Jayasuriya (2002), sumberdaya pakan dapat dikategorikan dalam empat kelompok sebagai berikut.
1. Pakan dengan serat tinggi dan protein rendah. Jenis pakan yang tergolong dalam kelompok ini adalah limbah pertanian seperti jerami padi, jerami jagung dengan karakteristik kandungan serat yang tinggi (>700 g dinding sel/kg bahan kering) dan kandungan protein yang rendah (20-60 g protein kasar/kg bahan kering).
2. Pakan dengan serat tinggi dan protein tinggi. Pakan yang termasuk kategori ini adalah beberapa limbah industri pertanian (agroindustrial byproducts) seperti dedak padi dan dedak jagung, termasuk pula limbah pertanian seperti limbah kacang tanah dan pucuk ubi kayu. Karakteristiknya adalah kandungan seratnya antara <400 - >700 g dinding sel/kg bahan kering dengan kandungan protein >60 g protein kasar/kg bahan kering.
3. Pakan dengan serat rendah dan protein rendah. Pakan yang termasuk dalam kategori ini adalah pakan dengan serat dan protein yang rendah, akan tetapi memiliki kandungan energi yang cukup tinggi seperti molases serta limbah industri pengolahan buah-buahan sehingga banyak digunakan sebagai sumber energi.
4. Pakan dengan serat rendah dan protein tinggi. Pakan kategori ini biasa disebut sebagai pakan konsentrat. Konsentrat dapat berasal dari bahan pangan atau tanaman serealia (jagung, padi atau gandum), kacang-kacangan (kacang hijau, kedelai), atau yang berasal dari hewan seperti tepung daging dan tepung ikan.
Dilain pihak, Simbaya (2002) membagi sumberdaya pakan ternak ke dalam empat golongan, yaitu hijauan (forages), limbah pertanian (crop residues), limbah industri pertanian (agroindustrial byproduct) dan pakan non konvensional (non convensional feed). Forages adalah semua jenis hijauan pakan, baik yang sengaja ditanam maupun yang tidak. Termasuk di dalamnya rumput dan leguminosa, baik leguminosa menjalar, perdu maupun pohon. Hartadi et al. (1993) mengemukakan bahwa forages atau hijauan pakan adalah bagian tanaman terutama rumput dan leguminosa yang dipergunakan sebagai pakan ternak. Biasanya hijauan mengandung serat kasar sekitar 18% dari bahan keringnya.
Hijauan makanan ternak bersumber dari padang rumput alam atau dengan melakukan penanaman hijauan makanan ternak. Jenis dan kualitas hijauan dipengaruhi oleh kondisi ekologi dan iklim di suatu wilayah (Simbaya 2002). Ketersediaan hijauan pakan ternak di Indonesia tidak tersedia sepanjang tahun, dan hal ini merupakan suatu kendala yang perlu dipecahkan. Musim penghujan produksi hijauan berlimpah, dan sebaliknya pada musim kemarau mengalami kekurangan. Hijauan pakan yang tersedia di pedesaan adalah rumput unggul, rumput lapangan dan leguminosa (Diwyanto et al. 1996).
Pengembangan ternak khususnya ternak ruminansia masih tergantung pada kecukupan tersedianya pakan hijauan baik jumlah, kualitas dan kesinambungannya sepanjang tahun. Hijauan pakan yang digunakan untuk ternak ruminansia sering mengalami kekurangan terutama di musim kering dengan mutu yang rendah. Selain itu penggunaan lahan untuk tanaman pakan masih bersaing dengan tanaman pangan karena tanaman pakan belum menjadi prioritas (Sajimin et al. 2000).
Limbah pertanian adalah pakan yang bersumber dari limbah tanaman pangan dan produksinya sangat tergantung pada jenis dan jumlah areal penanaman atau pola tanam dari tanaman pangan di suatu wilayah (Makkar 2002). Produksi limbah pertanian dapat diestimasi berdasarkan asumsi dari perbandingan antara produk utama dengan limbahnya. Estimasi produksi limbah pertanian dapat menunjukkan perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan angka konversi (rasio) yang digunakan. Untuk mengetahui produksi limbah pertanian di suatu wilayah dapat diperkirakan berdasarkan luas areal panen dari tanaman pangan tersebut (Jayasuriya 2002). Jenis limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai pakan seperti jerami padi, jerami jagung, jerami kacang kedelai, jerami kacang tanah dan pucuk ubi kayu (Djajanegara 1999).
Menurut Djajanegara (1999), beberapa kendala pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan adalah pada umumnya memiliki kualitas rendah dengan kandungan serat yang tinggi dan protein dan kecernaan yang rendah, akibatnya bila digunakan sebagai pakan basal dibutuhkan penambahan bahan pakan yang memiliki kualitas yang baik (konsentrat) untuk memenuhi dan meningkatkan produktivitas ternak. Kendala lainnya adalah produksi limbah pertanian bersifat musiman yaitu melimpah saat panen dan jumlah limbah pertanian yang dapat dikumpulkan oleh perternak terbatas karena tidak memiliki fasilitas untuk penyimpanan.
Menurut Soetanto (2000), untuk mengatasi masalah pakan secara umum dapat dilakukan tiga pendekatan. Pertama, memperluas keragaman sumber pakan dengan melakukan upaya pemanfaatan lahan tidur untuk penanaman hijauan makanan ternak, pemanfaatan limbah pertanian dan industri, dan menghidupkan kembali tanah-tanah pangonan. Selain itu dengan melakukan sistem pertanian lorong dan intensifikasi lahan pekarangan dengan memanfaatkan leguminosa perdu. Kedua, meningkatkan kualitas pakan melalui peningkatan kualitas pakan basal, peningkatan nilai nutrisi protein serealia dan upaya menghilangkan senyawa antinutrisi dalam pakan. Ketiga, memperbaiki sistem pemberian pakan dengan upaya yang dilakukan adalah perbaikan formulasi ransum ternak yang sesuai dengan daerah tropis dan manajemen pemberian pakan untuk ternak. Tingkat adopsi suatu inovasi teknologi pakan dalam pengembangan pakan sangat kompleks. Namun satu hal yang sering diabaikan adalah kurangnya pemahaman terhadap persepsi peternak dibanding dengan para peneliti. Soetanto (2001) mengidentifikasi beberapa penyebab kegagalan program-program di bidang pengembangan pakan seperti pada Tabel 1.
Untuk memanfaatan limbah pertanian dan industri pertanian sebagai pakan perlu diperhatikan beberapa hal yaitu : a) jumlah yang tersedia (kuantitas) untuk dapat digunakan sebagai pakan, b) distribusi yaitu jarak antara lokasi produksi limbah tersebut dengan tempat pemeliharaan ternak (pedesaan), c) infrastruktur yang berhubungan dengan transportasi dan fasilitas penanganan dan penyimpanan, d) kesinambungan produksi, dan e) teknologi yang tersedia dengan mempertimbangkan aspek ekonomi dan efisiensinya (Preston 1986).

Jerami Padi sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Limbah tanaman pangan memiliki potensi yang cukup besar untuk dapat digunakan sebagai makanan ternak. Karakteristik limbah tanaman pangan secara umum dengan kualitas nutrisi yang rendah sehingga memiliki keterbatasan dalam penggunaannya sebagai pakan ternak (Shanahan et al. 2004). Jerami padi merupakan salah satu limbah tanaman pangan yang terdapat dalam jumlah melimpah dan mudah diperoleh untuk dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Karakteristik jerami padi ditandai dengan tingginya kandungan serat kasar dan rendah kandungan nitrogen, kalsium serta fosfor. Hal ini mengakibatkan daya cerna jerami padi rendah dan konsumsi menjadi terbatas, akan tetapi masih potensial digunakan sebagai sumber energi (Leng 1980).
Upaya meningkatkan nilai manfaat jerami padi sebagai pakan telah dilaporkan beberapa peneliti. Ternak sapi yang mendapat pakan dengan perlakuan jerami padi ditambahkan urea 4% menunjukkan pertambahan berat badan dan konversi ransum nyata lebih baik dibandingkan dengan pakan jerami dengan penambahan kombinasi 2% urea dan 3% kapur (Xuan Trach et al. 2001). Xuan Trach (2004) melaporkan bahwa teknologi peningkatan nilai nutrisi jerami padi dengan perlakuan penambahan urea sebagai pakan ternak sapi pada kondisi peternakan rakyat dapat meningkatkan produktivitas ternak dengan tingkat konsumsi dan pertambahan berat badan yang lebih baik dibandingkan dengan jerami padi tanpa penambahan urea. Tingkat adopsi peternak dan penerapan teknologi tersebut dipengaruhi oleh aspek sosial ekonomi seperti pola pikir dan perilaku peternak, serta pemahaman terhadap manfaat yang dapat diperoleh dengan menerapkan teknologi tersebut.
Penelitian penggunaan jerami padi sebagai pakan ternak ruminansia dilaporkan Bestari et al. (1999), bahwa pemberian pakan hijauan silase jerami padi yang ditambahkan mikroba rumen kerbau pada sapi peranakan ongole jantan yang sedang tumbuh dapat memberikan nilai gizi dan nilai manfaat ransum yang lebih baik daripada jerami padi tanpa pengolahan, dan setara dengan pakan hijauan rumput gajah. Pemberian pakan silase jerami padi yang ditambahkan mikroba rumen kerbau pada sapi peranakan ongole jantan yang sedang tumbuh memberikan pengaruh yang terbaik terhadap nilai kecernaan bahan kering, bahan organik, protein kasar dan NDF bila dibandingkan dengan pakan hijauan rumput gajah maupun jerami padi.
Pengolahan jerami padi yang difermentasi dengan starbio menunjukkan komposisi nutrien jerami padi mengalami peningkatan kualitas dibanding jerami padi yang tidak difermentasi. Dibanding dengan jerami padi tanpa fermentasi, jerami padi yang difermentasi dengan probiotik starbio mengalami peningkatan kandungan protein kasar. Komposisi serat jerami padi tanpa fermentasi nyata lebih tinggi dibanding dengan jerami padi yang difermentasi dengan starbio (Syamsu 2001a).
Dalam aplikasi di lapangan pada peternakan rakyat menunjukkan rata-rata konsumsi bahan kering pakan terdapat perbedaan nyata antara jerami padi fermentasi (4.41 kg/ekor/hari) dengan jerami padi tanpa fermentasi (3.35 kg/ekor/hari) pada ternak sapi Bali. Hal ini menunjukkan bahwa jerami padi yang difermentasi dengan probiotik mempunyai palatabilitas yang lebih tinggi dibanding dengan jerami padi tanpa fermentasi. Pertambahan berat badan sapi dipengaruhi oleh faktor kualitas pakan, serta kemampuan ternak untuk memanfaatkan pakan tersebut. Rataan pertambahan berat badan harian menunjukkan bahwa sapi Bali yang diberi jerami padi fermentasi memberikan respon pertambahan berat badan harian yang lebih tinggi (0.37 kg) dibanding dengan jerami padi tanpa fermentasi (0.25 kg). Pertambahan berat badan yang lebih tinggi pada jerami fermentasi dipengaruhi oleh konsumsi pakan yang juga tinggi (Syamsu et al. 2003).
Teknologi fermentasi jerami padi dengan litter ayam dapat meningkatkan kualitas protein kasar jerami padi, konsumsi bahan kering dan pertambahan berat badan ternak sapi yang lebih tinggi dibandingkan dengan jerami padi yang difermentasi dengan urea (Quoc Viet dan Duc Kien 2001). Dilain pihak, Syamsu (2001b) menyatakan bahwa penambahan manure ayam memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar protein kasar jerami padi. Kadar protein kasar antara tanpa penambahan manure ayam dan 10% manure ayam tidak menunjukkan perbedaan, tetapi kedua perlakuan tersebut lebih rendah dibanding dengan penambahan manure ayam 20 dan 30 %. Protein kasar jerami padi dapat meningkat dengan penambahan manure ayam sebagai starter (Suryani 1994). Perlakuan biologis dapat menyebabkan ikatan lignoselulose dan lignohemiselulose pada jerami padi merenggang dan akhirnya putus (Komar 1984) dan putusnya ikatan tersebut disebabkan oleh mikroorganisme yang terdapat pada manure ayam (Laconi 1992).
Haryanto et al. (2004) menyatakan bahwa peningkatan nilai nutrisi jerami padi dapat dilakukan melalui bioproses fermentasi menggunakan probiotik sebagai pemacu pemecahan komponen lignosellulosa di dalam jerami padi tersebut. Pemberian jerami padi fermentasi dengan probion sebagai pakan domba dapat meningkatkan produktivitas domba dibandingkan dengan pemberian pakan secara tradisional. Dilain pihak, Martawidjaja dan Budiarsana (2004) melaporkan bahwa jerami padi yang difermentasi dengan probion dapat menggantikan rumput raja sebagai pakan dasar untuk ternak kambing PE betina fase pertumbuhan. Pemberian jerami padi fermentasi secara terpisah dari konsentrat menghasilkan respon pertumbuhan dan konversi pakan yang lebih baik dibandingkan dengan bentuk ransum komplit.

Teknologi Pengolahan Jerami Padi
Teknologi pengolahan jerami padi dapat dilakukan dengan pengolahan secara fisik, kimiawi dan biologis (Gambar 3). Secara umum teknologi pengolahan limbah pertanian khususnya jerami padi dilakukan dengan tujuan untuk : a). memperbaiki nilai nutrisi dan kecernaan, serta meningkatkan fermentasi ruminal dengan menambahkan elemen yang kurang, b). mengoreksi defisiensi jerami dengan menambahkan nitrogen atau mineral, c). meningkatkan konsumsi dengan cara memperbaiki palatabilitas, d). meningkatkan ketersediaan energi, serta e). mengurangi sifat amba dari jerami padi (Komar, 1984).

Peningkatan produksi ternak ruminansia memerlukan penyediaan pakan dalam jumlah yang besar, terutama sumber serat yang murah. Salah satu sumber pakan ternak ruminansia yang potensial adalah limbah hasil pertanian. Umumnya jerami/limbah pertanian mempunyai kualitas yang kurang baik, dengan kandungan lignoselulosa yang tinggi. Upaya peningkatan kualitas limbah pertanian baik secara fisik, kimia dan biologis telah banyak direkomendasikan salah satunya adalah teknologi amoniasi jerami padi (Komar,1984).
Jerami padi adalah bagian batang tubuh tanaman padi yang telah dipanen bulir-bulir buah bersama atau tidak dengan tangkainya dikurangi akar dan bagian yang tertinggal setelah disabit (Komar, 1984). Karakteristik jerami padi ditandai dengan rendahnya kandungan nitrogen dan mineral esensial, sedang serat kasarnya yang tinggi sehingga kecernaannya hanya mencapai 37 % (Djajanegara, 1983).
Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak di Indonesia baru mencapai 31 - 39 %, sedangkan yang dibakar atau dikembalikan ke tanah sebagai pupuk 36 - 62 %, dan sekitar 7 - 16 % digunakan untuk keperluan industri (Komar, 1984). Faktor penghambat utama dalam penggunaan jerami sebagai makanan ternak adalah rendahnya koefisien cerna dan nilai gizinya. Hal ini disebabkan karena ikatan intermolekuler hidrogen, terjadinya kristalisasi daripada lignin dan silika (Friss, 1982). Menurut Hann (1978) nilai gizi jerami tergantung dari ketersediaan zat makanan dan juga sifat-sifat kimia jerami. Sifat kimia tersebut meliputi lignifikasi, silifikasi dan kristalisasi selulosa. Akibatnya daya cerna jerami padi menjadi rendah, hanya 30 %.
Dinyatakan pula oleh Jackson (1978) bahwa serat jerami padi mengandung silika dalam gugus organik sebanyak 12 - 16 % dari bahan kering. Sutrisno (1983) menguraikan bahwa silika merupakan kristal yang terdapat dalam dinding sel yang mengisi ruang antar sel. Kristal silika ini tidak larut dalam cairan rumen, dengan demikian merupakan hambatan bagi mikroba rumen dan enzim yang dihasilkan untuk mencerna jerami padi.
Kemampuan ruminansia dalam memanfaatkan jerami padi tergantung mikroba rumen untuk mensuplai enzim yang mampu mencerna serat kasar dalam jerami padi (Schiere dan Ibrahim, 1989). Untuk membantu kegiatan mikroba rumen mencerna jerami padi dilakukan berbagai cara seperti dikemukakan oleh Ibrahim (1983), yaitu : 1) pra perlakuan secara fisik ; dipotong-potong, digiling, direndam, direbus, dibuat pellet dan gamma irradiasi. Perlakuan ini akan memecahkan lapisan kulit seperti lignin dan memperluas permukaan partikel makanan sehingga mikroorganisme dapat langsung mencerna selulosa. Dengan demikian kecepatan fermentasi akan meningkat, waktu retensi makanan akan menurun dan konsumsi pakan meningkat, 2) pra perlakuan secara kimia, menggunakan bahan kimia antara lain NaOH, Ca(OH)2, amonium hidroksida atau anhidrat amonia, urea amonia, sodium karbonat, sodium klorida, gas klor, sulfur dioksida. Larutan basa dapat mengurangi ikatan hidrogen antar molekul selulosa, 3) pra perlakuan fisik-kimia ; melakukan gabungan kedua cara di atas seperti pemotongan dengan NaOH, dibuat pellet dan NaOH, dan sebagainya, 4) pra perlakuan biologi ; dilakukan dengan penambahan enzim, menumbuhkan jamur dan bakteri, fermentasi anaerob.
Perlakuan terhadap jerami sebelum diberikan ke ternak bertujuan untuk meningkatkan kecernaan dengan jalan meningkatkan tingkat kelarutan lignin atau mengurangi ikatan hidrogen antara lignin atau komponen fenolik dan fraksi dinding sel jerami padi terutama selulosa (Ibrahim, 1983). Selanjutnya ikatan tersebut akan terurai pada derajat keasaman yang ekstrim, yaitu kurang dari 8.0 atau lebih, dengan demikian tingkat kelarutan fraksi tersebut meningkat yang akhirnya meningkatkan nilai gizi.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa mengingat karakteristik jerami padi, maka untuk tujuan meningkatkan nilai manfaat jerami padi diperlukan upaya yang diarahkan untuk memperkecil faktor pembatas pemanfaatannya, sehingga potensinya yang besar sebagai pakan ternak dapat ditingkatkan, sehingga perlu adanya sentuhan teknologi dalam pengolahan jerami padi. Teknologi yang diterapkan haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut mudah dan praktis serta ekonomis, jerami padi yang telah diolah harus lebih murah atau minimal tidak lebih mahal dengan pakan lain dengan nilai gizi yang setara, peralatan yang digunakan tidak mahal ataupun yang telah dimiliki oleh peternak, serta bahan yang digunakan harganya tidak mahal (Komar, 1984).
Amoniasi merupakan suatu cara pengolahan jerami padi secara kimiawi dengan menggunakan gas amonia. Namun karena pengadaan gas amonia mahal sehingga dicarilah sumber gas amonia yang murah dan mudah didapat. Salah stau diantaranya adalah dengan menggunakan urea CO(NH2)2. Urea merupakan senyawa kimia yang mengandung lebih kurang 45 % unsur nitrogen (Komar, 1984).
Beberapa manfaat dari amoniasi yaitu memperkaya kandungan protein dua sampai empat kali lipat dari kandungan protein semula, meningkatkan daya cerna, meningkatkan kuantitas konsumsi pakan. Dalam proses amoniasi, amoniak akan berperan untuk menghidrolisa ikatan lignin-selulosa, menghancurkan ikatan hemiselulosa, memuaikan atau mengembangkan serat selulosa sehingga memudahkan penetrasi enzim selulosa, serta meningkatkan kadar nitrogen sehingga kandungan protein kasar juga meningkat (Komar, 1984).
Seperti diketahui bahwa jerami padi yang rendah kandungan nitrogen, sehingga dengan penggunaan urea dalam amoniasi dapat memperbaiki kandungan nitrogen jerami padi yang sekaligus dapat meningkatkan konsumsi dan daya cernanya. Peningkatan kadar nitrogen dimungkinkan karena urea merupakan sumber amonia (NH4), maka terjadi proses hidrolisa yang selanjutnya dengan enzim urease, urea dapat terurai menjadi ammonia dan CO2 (Schiere dan Ibrahim, 1989).


BAB III. MATERI DAN METODE

Kerangka Pemecahan Masalah
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan maka untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dilakukan pemecahan masalah sebagai berikut :
1. Melakukan pembelajaran tentang pengetahuan cara pemanfaatan limbah pertanian, khususnya jerami padi kepada peternak melalui metode ceramah, diskusi dan curah pikir.
2. Memperkenalkan cara pembuatan jerami padi amoniasi yang sederhana, praktis, efisien, dan mudah dilakukan melalui cara demonstrasi pembuatan jerami padi amoniasi.
3. Menyediakan peralatan dan bahan untuk demonstrasi pembuatan jerami padi amoniasi, seperti kantong plastik, jerami, pupuk urea, dengan melakukan praktikum.
4. Melatih peternak membuat sendiri jerami padi amoniasi, dengan mempraktikkan keseluruhan materi pelatihan yang telah diajarkan.

Khalayak Sasaran
Untuk meningkatkan efektifitas penyebaran informasi dan adopsi inovasi teknologi pembuatan jerami padi amoniasu oleh petani peternak secara luas maka dibutuhkan sekelompok peternak yang mempunyai tingkat pengetahuan cukup serta mempunyai motivasi tinggi. Kelompok sasaran yang dipilih adalah ketua kelompok tani ternak dan peternak. Disamping itu khalayak sasaran lainnya adalah kepala dusun, tokoh masyarakat, petugas lapangan peternakan/penyuluh pertanian lapangan, dan aparat desa. Diharapkan khalayak sasaran yang telah mengikuti pelatihan ini, dapat menyebarluaskan informasi dan pengetahuan yang diperoleh pada peternak lainnya.
Metode Kegiatan

Metode pelaksanaan kegiatan penerapan ipteks adalah :
1. Penyajian materi latihan, metode yang digunakan adalah ceramah, diskusi dan curah pikir.
2. Demonstrasi pembuatan jerami padi amoniasi oleh pemateri, dengan memperlihatkan kepada peserta tentang teknik pembuatan jerami padi amoniasi.
3. Praktek pembuatan jerami padi amoniasi oleh peternak, dengan menfasilitasi dan menuntun peserta dalam melakukan sendiri pembuatan jerami padi amoniasi.

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Lokasi dan Khalayak Sasaran
Tahap awal pelaksanan kegiatan penerapan ipteks adalah melakukan identifikasi lokasi pelaksanaan kegiatan. Berdasarkan identifikasi lokasi ditetapkan sebagai lokasi kegiatan adalah di Desa Bijawang Kecmatan Ujung Loe Kabupaten Bulukumba.
Pelaksanaan identifikasi lokasi kegiatan dilakukan dengan melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah (kepala desa), terutama untuk mengetahui kesiapan peserta/peternak dalam hal penentuan waktu pelaksanaan kegiatan pelatihan.
Disamping itu dilakukan pula identifikasi khalayak sasaran yang menjadi peserta dalam kegiatan penerapan ipteks (pelatihan). Hal ini dilakukan untuk menjaring informasi awal tentang kondisi obyektif wilayah sasaran khususnya manajemen pakan pada peternakan rakyat dan potensi sumberdaya jerami padi sebagai limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Hasil identifikasi tentang kondisi wilayah sasaran (Desa Bijawang) menunjukkan bahwa secara umum peternak belum menggunakan jerami padi sebagai pakan ternak, sistem pemeliharaan ternak sapi belum dilakukan dengan pola intensif (perkandangan), serta manajemen pemberian pakan masih menggunakan rumput lapangan/alam sebagai pakan utamanya. Namun demikian para peternak menyadari bahwa ketersediaan sumber hijauan khususnya rumput lapangan/alam ketersediannya terbatas, sehingga pada saat tertentu terutama musim kemarau hijuan tidak tersedia.
Dengan demikian terjadi kekurangan hijauan untuk ternak, sehingga teknologi amoniasi jerami padi sangat layak untuk dilakukan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kekurangan hijauan tersebut sebagai stok pakan. Komar (1984) mengemukakan mengingat karakteristik jerami padi yaitu kandungan serat tinggi dan protein yang rendah, maka untuk tujuan meningkatkan nilai manfaat jerami padi diperlukan upaya yang diarahkan untuk memperkecil faktor pembatas pemanfaatannya, sehingga potensinya yang besar sebagai pakan ternak dapat ditingkatkan, sehingga perlu adanya sentuhan teknologi dalam pengolahan jerami padi. Teknologi yang diterapkan haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut mudah dan praktis serta ekonomis, jerami padi yang telah diolah harus lebih murah atau minimal tidak lebih mahal dengan pakan lain dengan nilai gizi yang setara, peralatan yang digunakan tidak mahal ataupun yang telah dimiliki oleh peternak, serta bahan yang digunakan harganya tidak mahal seperti teknologi amoniasi jerami padi (Komar, 1984).
Persiapan Pelatihan
Persiapan pelatihan terdiri atas penyiapan materi adalah membuat makalah/bahan bacaan untuk disampaikan saat pelaksanaan pelatihan. Makalah yang dibuat berjudul Teknik Pembuatan Jerami Padi Amoniasi sebagai Sumber Pakan Ternak Potensial, seperti terlihat pada Lampiran 1.
Disamping itu untuk meningkatkan pemahaman dan tingkat penerimaan/daya serap peserta terhadap materi yang disampaikan, dibuat pula media informasi singkat berupa leaflet tentang pembuatan jerami padi amoniasi (Lampiran 2). Untuk pelaksanaan pelatihan, demonstrasi dan praktek pembuatan amoniasi jerami padi digunakan sarana atau alat/bahan seperti kertas flipchart, spidol, pelatihan kit untuk peserta, silo (kantong plastik), urea, air, dan tali sebagai pengikat silo.
Pelaksanaan Pelatihan
Waktu dan Tempat Pelatihan
Pelatihan dilaksanakan di Desa Bijawang Kecamatan Ujung Loe Kabupaten Bulukumba, bertempat di Kantor Desa Bijawang. Pelatihan dilaksanakan pada tanggal 20 Mei 2008.
Peserta Pelatihan
Pelatihan diikuti oleh peternak yang tergabung dalam kelompok tani ternak, petugas lapangan dinas peternakan, aparat desa, dan masyarakat lainnya.
Materi Pelatihan
Materi pelatihan yang diberikan adalah materi pelatihan obyektif praktis dengan metode pendekatan orang dewasa. Penekanan materi pelatihan lebih dititikberatkan pada kemampuan peserta untuk dapat menerima dan menganalisa seluruh materi yang diberikan. Materi memberikan pemahaman kepada peserta tentang potensi jerami padi sebagai pakan ternak, karakteristik jerami padi sehingga memiliki keterbatasan dalam penggunaan sebagai pakan, manfaat teknologi pakan dalam meningkatkan kualitas pakan, serta cara pembuatan amoniasi jerami padi. Pelaksanaan pemberian materi pelatihan seperti terlihat pada Gambar 4.
Dengan kegiatan penerapan ipteks ini, secara umum peternak dapat memahami dan mengerti pelaksanaannya. Beberapa tanggapan peternak tentang teknologi pengolahan jerami padi ini adalah peternak menganggap lebih praktis dibanding teknologi pengolahan jerami lainnya dan mudah untuk dilaksanakan. Namun beberapa kendala yang mungkin akan dihadapi dalam pelaksanaannya adalah sulitnya mengangkut atau membawa jerami padi dari sawah ke sekitar rumah mengingat jerami padi yang voluminous.
Mengingat wilayah atau daerah lokasi kegiatan ini masih memiliki lahan yang cukup untuk penggembalaan ternak dan dapat menyediakan hijauan pada musim hujan (hijauan banyak), sehingga pengolahan jerami padi akan dijadikan sebagai stok pakan sapi potong pada saat musim paceklik hijauan (musim kemarau).
Demonstrasi Pembuatan Amoniasi Jerami Padi
Pelaksanaan kegiatan demonstrasi dilaksanakan di halaman sekitar Kantor Desa Bijawang. Setelah semua bahan dan alat yang diperlukan disiapkan maka dilakukan demonstrasi pengolahan jerami padi yang didahului dengan peragaan teknis pelaksanaan oleh pemateri. Langkah-langkah yang dilakukan dalam amoniasi jerami padi adalah sebagai berikut :
a) Jerami padi ditimbang sesuai dengan jumlah yang diperlukan kemudian dipotong-potong dengan ukuran sekitar 5-10 cm, dan disiapkan silo/kantong plastik.
b) Disiapkan urea sebanyak 6 % dari bobot jerami padi yang digunakan. Misalnya : jumlah jerami padi yang diolah sebanyak 50 kg maka urea yang dibutuhkan sebanyak 6% x 50 kg = 3 kg
c) Disiapkan air bersih sebanding dengan jumlah jerami padi yang digunakan. Misalnya : jerami padi 50 kg, diperlukan air 50 liter. Jumlah air ini 30% digunakan untuk melarutkan urea yang telah ditimbang
d) Selanjutnya jerami padi yang telah dipotong-potong dimasukkan ke dalam silo kantong plastik, sehingga membentuk lapisan setebal 10-20 cm, kemudian setiap lapisan ditambahkan dengan larutan urea secara merata dan setelah itu diberikan dengan air bersih. Jerami padi disusun sedemikian rupa sehingga membentuk tumpukan ke atas.
e) Setelah penumpukan jerami selesai, ditutup dengan rapat/dipadatkan menggunakan tali dan disimpan selama 21 hari. Setelah penyimpanan, tutup dibuka dan jerami padi amoniasi diangin-anginkan dan selanjutnya dapat digunakan sebagai pakan ternak.

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Kondisi awal khalayak sasaran sebelum kegiatan secara umum peternak belum menggunakan jerami padi sebagai pakan ternak, sistem pemeliharaan ternak sapi belum dilakukan dengan pola intensif (perkandangan), serta manajemen pemberian pakan masih menggunakan rumput lapangan/alam sebagai pakan utamanya. Namun demikian para peternak menyadari bahwa ketersediaan sumber hijauan khususnya rumput lapangan/alam ketersediannya terbatas, sehingga pada saat tertentu terutama musim kemarau hijuan tidak tersedia. Dengan kegiatan penerapan ipteks, secara umum peternak dapat memahami dan mengerti pembuatan amoniasi jerami padi. Beberapa tanggapan peternak tentang teknologi pengolahan jerami padi ini adalah peternak menganggap lebih praktis dibanding teknologi pengolahan jerami lainnya dan mudah untuk dilaksanakan.

Saran
Mengingat peternak telah mengetahui pembuatan amoniasi jerami padi, langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah optimalisasi penerapan teknologi amoniasi di tingkat peternak, agar pelaksanaannya berkesinambungan. Diperlukan penyediaan sarana penyimpanan jerami padi seperti gudang penyimpanan pakan, yang dibuat secara kolektif untuk kebutuhan kelompok tani.


DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, A dan Syamsu, J. A. 2008. Persepsi Peternak Terhadap Pemanfaatan Limbah Tanaman Pangan Sebagai Pakan Ruminansia di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. ANIMAL PRODUCTION : Jurnal Produksi Ternak-in press

Bestari J, Thalib A, Hamid H, Suherman D. 1999. Kecernaan in vivo ransum silase jerami padi dengan penambahan mikroba rumen kerbau pada sapi peranakan ongole. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 4 (4) : 237 242.

BPS SULSEL Badan Pusat Statistik Sulsel. 2007. Sulawesi Selatan dalam Angka 2006. Makassar: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan.

Diwyanto K, Priyanti A, Zainuddin D. 1996. Pengembangan ternak berwawasan agribisnis di pedesaan dengan memanfaatkan limbah pertanian dan pemilihan bibit yang tepat. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 15(1) : 6-15.

Djajanegara A. 1999. Local livestock feed resources. Di dalam: Livestock Industries of Indonesia Prior to the Asian Financial Crisis. RAP Publication 1999/37. Bangkok: FAO Regional Office for Asia and the Pacific. hlm 29-39.

Djajanegara, A. 1983. Tinjauan ulang mengenai evaluasi suplemen pada jerami padi. Pros. Seminar pemanfaatan limbah pangan dan limbah pertanian untuk makanan ternak. LKN LIPI, Bandung

Friss, V.K. 1982. Effect of processing on nutrien content of feed : Alkali treatment. Handbook of nutritive value of processed feed. Vol. II Animal Feedstuff. CRC Press, Boca Rotan

Hann, Y.W. 1978. Microbial utilization of straw ( A Review). Adv. Appl. Microbial 23 : 144-145

Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Tillman AD. 1993. Tabel Komposisi Pakan di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Haryanto B, Supriyati, Jarmani SN. 2004. Pemanfaatan probiotik dalam bioproses untuk meningkatkan nilai nutrisi jerami padi untuk pakan domba. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 4-5 Agustus 2004. Bogor: Puslitbang Peternakan Departemen Pertanian. hlm 298-304.

Ibrahim, M.N.M. 1983. Physical, chemical, physico-chemical and biological treatment of crop residues. An Overline I Workshop AFAR, Los Banos
Jackson, M.G. 1978. Rice straw as livestock feed in ruminant nutrition. Selectet articles from the World Anim. Rev. 12 : 34-40

Jayasuriya, M.C.N. 2002. Principles of rations formulation for ruminant. Di dalam: Development and Field Evaluation of Animal Feed Supplementation Packages. IAEA-TECDOC-1294. Austria: IAEA. hlm 9-14.

Komar, A. 1984. Tehnologi pengolahan jerami sebagai makanan ternak. Yayasan Dian Grahita, Jakarta

Laconi EB. 1992. Pemanfaatan manure ayam sebagai suplemen non protein nitrogen (NPN) dalam pembuatan silase jerami padi untuk ternak kerbau. [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

Leng RA. 1980. Principles and Practices of Feeding Tropical Crops and By-Products to Ruminant. Armidale: Department of Biochemistry and Nutrition, University of New England

Makkar, H.P.S. 2002. Applications of the in vitro gas method in the evaluation of feed resources, and enhancement of nutritional value of tannin-rich tree/browse and agro-industrial by-product. Di dalam : Development and Field Evaluation of Animal Feed Supplementation Packages. IAEA-TECDOC-1294. Austria: IAEA. hlm 23-40.

Martawidjaja M, Budiarsana IGM. 2004. Pengaruh pemberian jerami padi fermentasi dalam ransum terhadap performan kambing peranakan etawah betina. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 4-5 Agustus 2004. Bogor: Puslitbang Peternakan Departemen Pertanian. hlm 407-415.

Parra R, Escobar A. 1985. Use of fibrous agricultural residues (FAR) in ruminant feeding in Latin America. Di dalam: Better Utilization of Crop Residues and By-products in Animal Feeding:research guidelines. 1.State knowledge. FAO Animal Production and Health Paper 50. Rome: FAO.

Preston TR. 1986. Better Utilization of Crop Residues and By-products in Animal Feeding : research guidelines. 2.A practical manual for research workers. FAO Animal Production and Health Paper 50/2. Rome: FAO.

Quoc Viet T, Duc Kien D. 2001. Dried rice straw-chicken litter and urea-treated rice straw as main fodder resources for local cattle in the dry season. Livestock Research for Rural Development 13 (2). http://www.cipav.org.co/lrrd/lrrd13/2/trach132.htm. [25 Desember 2005].
Sajimin, Kompiang IP, Supriyati, Lugiyo. 2000. Pengaruh pemberian berbagai cara dan dosis Bacillus sp terhadap produktivitas dan kulaitas rumput Panicum maximum. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor 18-19 September 2000. Bogor: Puslitbang Peternakan Departemen Pertanian. hlm 359-365.

Shanahan JF, Smith DH, Stanton TL, Horn BE. 2004. Crop Residues for Livestock Feed. Colorado: CSU Cooperative Extension - Agriculture, Colorade State University. http://www.ext.colostate.edu/pubs/ crops/00551.html. [15 April 2008].

Shiere, J.B and M.N.M. Ibrahim. 1989. Feeding of urea amonia treated rice straw. Pudoc Wageningen

Simbaya J. 2002. Availability and feeding quality characteristics of on-farm produced feed resources in the traditional small-holder sector in Zambia. Di dalam : Development and Field Evaluation of Animal Feed Supplementation Packages. IAEA-TECDOC-1294. Austria: IAEA. hlm 153-161.
Soetanto H. 2000. Masalah Gizi dan Produktivitas Ternak Ruminansia di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang: Universitas Brawijaya.
Soetanto H. 2001. Teknologi dan Strategi Penyediaan Pakan dalam Pengembangan Industri Peternakan. Makalah Workshop Strategi Pengembangan Industri Peternakan, Makassar 29-30 Mei 2001. Makassar: Fakultas Peternakan UNHAS dan Puslitbang Bioteknologi LIPI.

Suryani NN. 1994. Pengaruh manure ayam pada wastelage jerami padi dalam ransum terhadap fermentasi rumen [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sutrisno, C.I. 1983. Pengaruh minyak nabati dalam mengatasi defisiensi Zn pada sapi yang memperoleh ransum berbahan dasar jerami padi. Disertasi. Program Pascasarjana IPB, Bogor

Syamsu JA. 2001a. Fermentasi jerami padi dengan probiotik sebagai pakan ternak ruminansia. Jurnal Agrista 5(3) : 280-283.

Syamsu JA. 2001b. Kualitas jerami padi yang difermentasi dengan manure sebagai pakan ruminansia. Jurnal Produksi Ternak 3(2) : 62-66.

Syamsu, J.A dan A. Abdullah. 2008. Kajian Ketersediaan Limbah Tanaman Pangan Sebagai Pakan Untuk Pengembangan Ternak Ruminansia di Kabupaten Bulukumba. Buletin Ilmu Peternakan dan Perikanan. Vol. XII (1).
Syamsu, J.A., L.A.Sofyan, K.Mudikdjo dan E.Gumbira Sa'id. 2003. Daya dukung limbah pertanian sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia. Wartazoa 13(1) : 30-37

Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo S. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Xuan Trach N, Magne M, Xuan Dan C. 2001. Effects of treatment of rice straw with lime and/or urea on responses of growing cattle. Livestock Research for Rural Development 13 (5). http://www.cipav.org.co/lrrd/ lrrd13/5/trach 135.htm. [13 Januari 2006].

Xuan Trach N. 2004. An evaluation of adoptability of alkali treatment of rice straw as feed for growing beef cattle under smallholders' circumstances. Livestock Research for Rural Development 16 (7). http://www.cipav.org.co/cipav/pubs/index.htm. [9 Desember 2005].