Senin, 17 November 2008

PERANAN PENYULUHAN DAN KELOMPOK TANI TERNAK UNTUK MENINGKATKAN ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PETERNAKAN SAPI POTONG

Agustina Abdullah
Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan KM 10 Kampus UNHAS Tamalanrea Makassar
(Makalah Seminar Nasional Sapi Potong. Universitas Tadulako Palu, 24 Nopember 2008)

Abstrak
Dalam rangka pengembangan peternakan khususnya sapi potong, penyuluhan sangat memiliki peranan penting khususnya dalam penguatan kelompok tani dan peningkatan proses adopsi teknologi peternakan kepada peternak. Keberhasilan penyuluhan sangat ditentukan oleh model penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan peternak, yaitu ketepatan materi, metode dan media yang digunakan. Pengembangan kelompok tani perlu dilaksanakan dengan nuansa partisipatif sehingga prinsip kesetaraan, transparansi, tanggungjawab, akuntabilitas serta kerjasama menjadi muatan-muatan baru dalam pemberdayaan peternak. Dilain pihak, untuk meningkatkan adopsi teknologi peternakan dalam pengembangan sapi potong beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan terkait dengan teknologi yang diintodusir ke peternak. Teknologi harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh petani kebanyakan, memberi keuntungan secara konkrit bagi petani, mendayagunakan sumberdaya yang sudah ada, terjangkau oleh kemampuan finansial peternak, serta teknologi harus sederhana tidak rumit dan mudah dicoba peternak.

Kata kunci : penyuluhan, kelompok tani, adopsi teknologi, sapi potong

Pendahuluan
Dalam mengembangkan ternak sapi potong tentunya tidak terlepas dari peranan kelompok tani ternak dalam mengupayakan ternaknya agar mendapat nilai tambah serta efisien dalam pengelolaannya. Upaya yang perlu dikembangkan dalam membina dan memantapkan kelompok peternak adalah memperkuat kelembagaan ekonomi petani peternak di pedesaan. Untuk itu diperlukan pendekatan yang efektif agar petani/peternak dapat memanfaatkan program pembangunan yang ada, secara berkelanjutan, melalui penumbuhan rasa memiliki, partisipasi dan pengembangan kreatifitas, disertai dukungan masyarakat lainnya sehingga dapat berkembang dan dikembangkan oleh masyarakat tani disekitarnya (Muslim, 2006).
Upaya ini diarahkan untuk terbentuknya kelompok-kelompok peternak, kerjasama antar kelompok sehingga terbentuk kelompok yang produktif yang terintegrasi dalam satu koperasi dibidang peternakan (Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2002a). Melalui kelompok peternak sapi potong diharapkan para peternak dapat saling berinteraksi, sehingga mempunyai dampak saling membutuhkan, saling meningkatkan, saling memperkuat, sehingga akan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mengelola sistem usaha agribisnis dan agroindustri secara potensial.
Secara teoritis pengembangan kelompok tani ternak dilaksanakan dengan menumbuhkan kesadaran para peternak, dimana keberadaan kelompok tani tersebut dilakukan dari, oleh dan untuk peternak. Pengembangan kelompok tani perlu dilaksanakan dengan nuansa partisipatif sehingga prinsip kesetaraan, transparansi, tanggungjawab, akuntabilitas serta kerjasama menjadi muatan-muatan baru dalam pemberdayaan peternak. Suatu kelompok tani yang terbentuk atas dasar adanya kesamaan kepentingan diantara peternak menjadikan kelompok tani tersebut dapat eksis dan memiliki kemampuan untuk melakukan akses kepada seluruh sumberdaya seperti sumberdaya alam, manusia, modal, informasi, serta sarana dan prasarana dalam mengembangan usahatani yang dilakukannya (Abdullah dan Syamsu, 2008).
Pemberdayaan peternak dapat berarti meningkatkan kemampuan atau kemandirian peternak dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan peternak untuk dapat berkembang. Disamping itu peningkatan kemampuan peternak dalam membangun termasuk kelembagaan peternak (kelompok tani) dan melakukan perlindungan melalui pemihakan kepada yang lemah dengan mencegah persaingan yang tidak seimbang serta menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan. Peran kelompok tani ternak sangat strategis sebagai wadah peternak untuk melakukan hubungan atau kerjasama dengan menjalin kemitraan usaha dengan lembaga-lembaga terkait dan sebagai media dalam proses transfer teknologi dan informasi. Dilain pihak, secara internal kelompok tani ternak sebagai wadah antar peternak ataupun antar kelompok tani dalam mengembangkan usahataninya (Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2002b).
Untuk itu diperlukan langkah-langkah strategis dalam rangka pemberdayaan kelompok tani yang memiliki muatan partisipatif yaitu peternak dalam posisi sebagai pelaku pembangunan peternakan. Muatan partisipatif adalah peternak terlibat langsung dalam proses perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi dari kegiatan usaha peternakan sapi potong dalam wadah kelompok tani khususnya dalam meningkatkan adopsi teknologi peternakan sapi potong.
Penyuluhan dan Pemberdayaan Petani Peternak
Undang Undang Republik Indonesia, Nomor 16 Tahun 2006, menyatakan bahwa penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sistem penyuluhan adalah seluruh rangkaian pengembangan kemampuan, pengetahuan, keterampilan, serta sikap pelaku utama dan pelaku usaha melalui penyuluhan.
Tujuan sistem penyuluhan meliputi pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial, yaitu: a. memperkuat pengembangan pertanian, perikanan, serta kehutanan yang maju dan modern dalam sistem pembangunan yang berkelanjutan; b. memberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam peningkatan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi; c. memberikan kepastian hukum bagi terselenggaranya penyuluhan yang produktif, efektif, efisien, terdesentralisasi, partisipatif, terbuka, berswadaya, bermitra sejajar, kesetaraan gender, berwawasan luas ke depan, berwawasan lingkungan, dan bertanggung gugat yang dapat menjamin terlaksananya pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan; d. memberikan perlindungan , keadilan, dan kepastian hukum bagi pelaku utama dan pelaku usaha untuk mendapatkan pelayanan penyuluhan serta bagi penyuluh dalam melaksanakan penyuluhan; dan e. mengembangkan sumber daya manusia, yang maju dan sejahtera, sebagai pelaku dan sasaran utama pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan (Undang-Undang No.16/2006).
Penyuluhan pertanian merupakan bagian dari pembangunan masyarakat pertanian yang diartikan sebagai pembangunan pertanian yang memihak petani. Dalam pelaksanaannya memerlukan berbagai perangkat material dan non-material, terutama keberanian untuk memihak. Elemen terpenting di dalam mengimplementasikan pembangunan masyarakat pertanian adalah elemen pemberdayaan sumber daya manusia petani yang menempati posisi sangat strategis yaitu berperan sebagai pelaku utama dan subyek pembangunan (prime mover to development).
Dalam rangka pemberdayaan petani peternak (farmer development), kunci pertama dan utama adalah ‘percaya kepada petani.’ Dengan demikian peran petani dalam pembangunan masyarakat adalah krusial dalam pengertian sebagai penentu keberhasilan pembangunan yang sangat berperan aktif dalam seluruh aspek kegiatannya. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi termasuk kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan pertanian. Pembangunan pertanian yang berdimensi masyarakat harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat berakhir di petani dan berawal dari petani. Konsep inilah yang akan menggeser paradima ‘farmer last-top down’ menjadi ‘farmer first-botton up’ (Herawati dan Junanto, 2003).
Penyuluhan pertanian menekankan perlunya penyamaan persepsi dan sikap tentang visi, misi, etika bisnis, tujuan, sasaran dan rencana kerja bersama diantara para pelaku sistem agribisnis. Karena itu, kegiatan penyuluhan sistem agribisnis tidaklah adil jika hanya dilakukan kepada petani peternak saja. Petani memang memerlukan penyuluhan, tetapi para pelaku perusahaan agribisnis lainnya dan subsistem jasa penunjang yang terkait dalam sistem agribisnis juga perlu dilakukan penyuluhan. Jika hal ini berhasil, maka akan terbentuk hubungan yang harmonis dalam kebersamaan dan saling ketergantungan diantara para pelaku system agribisnis untuk menghasilkan visi, misi, etika bisnis, tujuan dan sasaran serta rencana kerja bersama agar dapat menghasilkan produk pertanian yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Penyuluhan pertanian juga memerlukan perubahan perilaku penyuluh, yakni harus mampu: (a) meningkatkan profesionalisme penyuluh dengan melakukan perbaikan mutu layanan secara terus menerus yang mengacu kepada kebutuhan dan kepuasan pelanggannya; (b) menguasai materi penyuluhan yang menyangkut teknis produksi, manajemen agribisnis, manajemen hubungan sistem agribisnis, informasi permintaan pasar atau kebutuhan konsumen, jiwa kewirausahaan, serta etika bisnis dan keunggulan bersaing; (c) tidak menjadikan petani dan perusahaan agribisnis lainnya sebagai obyek tetapi sebagai subyek yang dapat menentukan masa depannya sendiri; dan (d) melakukan fungsi melayani (konsultatif) dengan sistem “menu” (Suparta, 2007).
Karakteristik Adopsi Teknologi
Adopsi inovasi merupakan suatu proses mental atau perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psychomotor) pada diri seseorang sejak ia mengenal inovasi sampai memutuskan untuk mengadopsinya setelah menerima inovasi (Rogers dan Shoemaker, 1971). Hal senada disampaikan oleh Soekartawi (1988) yang menyatakan bahwa adopsi merupakan proses mental dalam diri seseorang melalui pertama kali mendengar tentang suatu inovasi sampai akhirnya mengadopsi.
Faktor lain yang mempengaruhi percepatan adopsi dan difusi inovasi adalah tepat tidaknya dalam menggunakan metode penyuluhan. Penggunaan metode yang efektif akan mempermudah untuk dipahami oleh petani. Sering sebagian orang menyamakan istilah komunikasi pertanian dengan penyuluhan pertanian, padahal keduaya berbeda satu sama lain. Perbedaan keduanya disampaikan oleh Soekartawi (1988) bahwa komunikasi pertanian adalah suatu pernyataan antar manusia yang berkaitan dengan kegiatan di bidang pertanian, baik secara perorangan maupun kelompok, yang sifatnya umum dengan menggunakan lambang-lambang tertentu; sedangkan penyuluhan pertanian adalah sistem pendidikan di luar sekolah (informal) yang diberikan kepada petani dan keluarganya dengan maksud agar mereka mampu, sanggup, dan berswadaya memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraan keluarganya atau bila memungkinkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekelilingnya. Komunikasi mempunyai pengertian yang lebih luas dibanding penyuluhan, dengan kata lain dalam penyuluhan selalu ada unsur komunikasi, akan tetapi dalam komunikasi belum tentu ada unsur penyuluhan. Perbedaan mendasar lainnya adalah adanya unsur pendidikan dalam penyuluhan, dalam komunikasi tidak selalu ada. Dengan demikian, dalam penyuluhan perlu adanya materi yang perlu disiapkan dan penyampaian yang sistematis. Materi penyuluhan pertanian biasanya berupa inovasi-inovasi di bidang pertanian. Agar pesan inovasi tersebut dapat diterima dan diaplikasikan oleh target sasaran maka diperlukan metode penyuluhan.
Dari beberapa penelitian terungkap bahwa dalam program pembangunan pertanian terdapat sejumlah petani yang hanya mengadopsi komponen-komponen tertentu dari paket teknologi yang direkomendasikan, bahkan ada indikasi bahwa sebagian petani yang semula telah melaksanakan paket teknologi kemudian kembali lagi pada teknologi usahatani lama (Kepas, 1988). Gejala tersebut dapat menghambat upaya pelembagaan teknologi pertanian pada kelompok-kelompok sasaran. Di samping lingkungan fisik, Fliegel et al. (1971) telah mengungkapkan ada lima faktor yang mempengaruhi sikap petani dalam mengadopsi perubahan teknologi, yakni a) keuntungan nilai tambah relatif bila teknologi itu diadopsi, b) kecocokan teknologi dengan sosial budaya setempat, c) hasil pengamatan petani terhadap petani lain yang sedang atau telah mencoba teknologi itu sebagai dasar peletakan kepercayaan, d) mencoba sendiri akan keberhasilan teknologi baru dan e) kondisi ekonomi yang ada seperti ketersediaan modal, bagaimana konsekuensi kenaikan produksi terhadap harga produk. Faktor lain yang juga bekerja mempengaruhi adopsi tersebut, dikemukakan Maamun et al. (1993) yaitu (a) sifat/karakter individu/kelompok yang melakukan tindakan adopsi, (b) faktor sosial, ekonomi dan budaya, (c) penampilan dan kesesuaian teknologi, dan (d) faktor eksternal yaitu pelayanan dan kebijaksanaan dari lembaga terkait.
Ginting (2006) melaporkan bahwa dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab sulitnya adopsi teknologi oleh petani dapat dilihat dari aspek sebagai berikut :
a. Teknis, yaitu pengaruh teknologi terhadap perbaikan hasil dan/atau pendapatan/keuntungan usaha tani belum diyakini benar oleh petani dan kurangnya jaringan informasi dan infrastruktur yang tidak mendukung kelancaran masuknya informasi dan ilmu pengetahuan dari luar bagi petani.
b. Pengetahuan, yaitu kurangnya sistem diseminasi teknologi pertanian (penyuluhan/demplot/gelar teknologi) dan rendahnya tingkat pendidikan/pengetahuan petani sehingga sulit menterjemahkan manfaat teknologi baru.
c. Sosial, yaitu pada umumnya petani miskin takut resiko dan disalahkan rekan-rekan sesama petani apabila terjadi kegagalan akibat menuruti kemauan sendiri. Jadi adopsi teknologi pada umumnya merupakan hasil musyawarah antar anggota kelompok tani atau antar sesama kelompok tani. Perubahan teknologi sering berarti menambah kebutuhan tenaga kerja, kecuali adopsi alsintan yang justru mengurangi tenaga kerja.
d. Ekonomi, perubahan teknologi sering berarti menambah jumlah biaya produksi, sedangkan modal merupakan suatu kendala bagi petani miskin.
Lebih lanjut dinyatakan Ginting (2006) bahwa permasalahan yang biasa ditemukan di tingkat petani adalah takut resiko rugi baik karena harga jual rendah dan sulit pemasaran dan sistem pemasaran yang belum efisien, ongkos transport yang tinggi sehingga harga jual di tingkat petani tertekan rendah; Akibatnya, perbaikan teknologi hanya sedikit saja berpengaruh terhadap kenaikan pendapatan/keuntungan petani, sehingga minat petani untuk mengadopsi teknologi baru kurang. Pada umumnya petani mengusahakan pertaniannya masih secara tradisional tanpa atau sangat sedikit mengalami perubahan/perbaikan teknologi.
Hal ini disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut: (1) Petani belum mengenal/mendengar teknologi baru baik dari penyuluh, peneliti atau dari rekan petani lainnya; (2) Petani sudah mendengarnya, tetapi belum pernah melihat teknologi baru tersebut; (3) Petani sudah pernah melihat teknologi baru tersebut namun belum pernah mencobanya; dan (4) Pernah mencoba teknologi tersebut, tetapi tidak dapat diadopsinya karena: (a) terlalu mahal baginya karena modal lemah; (b) terlalu sulit dan perlu waktu lama untuk memahaminya; (c) belum yakin akan mendatangkan tambahan keuntungan, karena takut resiko gagal. Oleh karebna itu, peningkatan produksi dan pemasaran dalam merespon peluang pasar memerlukan suatu dasar teknologi yang sehat (sound technological base) dan lingkungan informasi yang dinamis (vibrant information environment). Strategi harus disusun untuk membangun landasan dalam inovasi teknologi yang kondusif dalam mendukung tujuan kegiatan.
Menurut Hermanto (1999) masalah kurang tercapainya sasaran peningkatan sumberdaya manusia (petani) termasuk peningkatkan adopsi teknologi peternakan melalui penyuluhan adalah: metode penyuluhan kurang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi petani dan materi yang disampaikan tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Ketidaksesuaian tersebut disebabkan oleh masalah: (a) interaksi antara penyuluh dan petani kurang intensif; (b) kurangnya penguasaan materi dari penyuluh; dan (c) rendahnya kepekaan penyuluh terhadap masalah yang terjadi di petani (responsivness).
Upaya Peningkatan Adopsi Teknologi Peternakan
Salah satu faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi adalah sifat dari inovasi itu sendiri. Inovasi yang akan diintroduksi harus mempunyai banyak kesesuaian (daya adaptif) terhadap kondisi biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya yang ada di peternak. Untuk itu, inovasi yang ditawarkan ke petani harus inovasi yang tepat guna. Dari studi yang telah dilakukan Hendayana dan Yusuf (2003), menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh tiap peternak dalam pemeliharaan sapi potong ternyata beragam. Ada dugaan bahwa inovasi teknologi penggemukan itu belum sepenuhnya diterapkan peternak. Kondisi tersebut tidak terlepas dari permasalahan adopsi inovasi teknologi. Adopsi adalah penerimaan atau penggunaan suatu ide, alat - alat atau teknologi baru oleh komunikan yang disampaikan oleh komunikator. Sehingga adopsi dapat diartikan suatu bentuk keputusan yang diambil oleh komunikan untuk menerima atau menerapkan inovasi yang diperolehnya dari komunikator maupun media masa. Secara empiris, adopsi inovasi teknologi oleh petani sering masih terbatas pada skala kecil. Di dalam inovasi biasanya komponen dipilih yang paling tinggi manfaatnya dan paling rendah resikonya.
Dilain pihak, Musyafak dan Ibrahim (2005), menyatakan bahwa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan adopsi teknologi pertanian termasuk teknologi dalam peternakan sapi potong adalah memilih inovasi teknologi tepat guna yang memenuhi kriteria sebagai berikut.
a. Teknologi harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh petani kebanyakan. Inovasi akan menjadi kebutuhan petani apabila inovasi tersebut dapat memecahkan masalah yang sedang dihadapi petani. Cara menemukan teknologi dengan kriteria ini adalah (a) mengidentifikasi masalah petani secara benar, dan (b) memberikan solusi masalah tersebut dengan inovasi (teknologi).
b. Teknologi harus memberi keuntungan secara konkrit bagi petani. Inovasi (teknologi) yang akan diterapkan harus dijamin akan memberikan keuntungan lebih dibanding inovasi (teknologi) yang sudah ada. Jika hal ini terjadi, niscaya petani akan mempunyai semangat untuk mengadopsi. Untuk menemukan inovasi (teknologi) dengan kriteria ini adalah (a) bandingkan teknologi introduksi dengan teknologi yang sudah ada, selanjutnya (b) identifikasi teknologi dengan biaya yang lebih rendah atau teknologi dengan produksi yang lebih tinggi.
c. Teknologi harus mendayagunakan sumberdaya yang sudah ada. Teknologi untuk para petani harus menggunakan sumberdaya yang sudah mereka miliki. Kalau sumberdaya dari luar mutlak diperlukan, kita harus memastikan bahwa sumberdaya itu murah, dapat diperoleh secara teratur dengan mudah dari suatu sumber tetap yang dapat diandalkan. Untuk memperoleh teknologi dengan kriteria tersebut, dapat dilakukan dengan cara (a) mengidentifikasi sumberdaya lokal yang tersedia, (b) mencari teknologi yang banyak mamanfatkan sumberdaya lokal tersebut.
d. Teknologi harus terjangkau oleh kemampuan finansial peternak. kendala adopsi yang datang secara internal dari inovasi itu sendiri adalah inovasi tersebut dirasakan mahal oleh petani. Sedangkan kendala adopsi dari luar inovasi itu sendiri adalah orientasi usaha, pasar, dan ketersediaan sarana pendukung (saprodi, dll). Sebagus apapun teknologi kalau tidak terjangkau oleh kemampuan finansial petani sebagai pengguna, maka akan susah untuk diadopsi. Apalagi kebanyakan petani relatif miskin, maka inovasi yang dirasakan murah akan lebih cepat diadopsi dibanding inovasi yang mahal. Cara menemukan teknologi ini adalah (a) mengidentifikasi kemampuan permodalan petani, sumber kredit yang bisa diakses petani, bantuan/pinjaman permodalan melalui program, dan sumber modal lain, (b) evaluasi, apakah teknologi yang diintroduksikan terbiayai oleh petani.
e. Teknologi harus sederhana tidak rumit dan mudah dicoba peternak. Semakin mudah teknologi baru untuk dapat dipraktekkan, maka makin cepat pula proses adopsi inovasi yang dilakukan petani. Oleh karena itu, agar proses adopsi dapat berjalan cepat, maka penyajian inovasi harus lebih sederhana. Dengan demikian kompleksitas suatu inovasi mempunyai pengaruh yang besar terhadap percepatan adopsi inovasi. Untuk menemukan teknologi dengan kriteria tersebut, dilakukan dengan mengevaluasi apakah teknologi yang diintroduksikan sederhana (tidak rumit), jika memang rumit dilakukan peragaan, percontohan, pelatihan secara partisipatif.
Proses adopsi melalui beberapa tahapan yaitu kesadaran (awareness), perhatian (interest), penaksiran (evaluation), percobaan (trial), adopsi (adopsi),konfirmasi (confirmation) (Mundy, 2000). Untuk mempermudah dalam memahami proses adopsi, berikut ini akan diberikan illustrasi tentang adopsi teknologi fermentasi jerami padi sebagai sapi potong. Jika peternak telah diperkenalkan teknologi fermentasi jerami padi sebagai pakan sapi potong, maka sejak itu, peternak mengalami proses mental untuk menerima atau menolak teknologi tersebut, dengan tahapan sebagai berikut.
1. Peternak menyadari bahwa pemanfaatan jerami padi melalui teknologi fermentasi sebagai pakan dapat meningkatkan produktivitas sapi potong dan memanfaatkan potensi limbah pertanian
• Tahap kesadaran (awareness)

2. Peternak mulai tertarik terhadap teknologi fermentasi jerami padi sebagai pakan dan mencari informasi tambahan dan lainnya mengenai hal tersebut
• Tahapan perhatian (interest)
3. Selanjutnya peternak memikirkan dan menimbang apakah mampu membiayai segala biaya yang ditimbulkan dari teknologi fermentasi jerami padi, apakah teknologi benar-benar bermanfaat atau apakah peternak lainnya mau membantu mengerjakan teknologi tersebut.
• Tahapan penaksiran (evaluation).

4. Peternak mencoba teknologi fermentasi jerami padi pada saat musim panen padi, dan jika tahap ini berhasil maka akan berlanjut ke tahap adopsi, dan jika gagal maka akan ke tahap penolakan.
• Tahap percobaan (trial).

5. Pada musim penen berikutnya, peternak memutuskan untuk tetap melakukan teknologi fermentasi jerami padi dalam jumlah yang lebih besar. Jika tahap ini berhasil maka adopsi akan berlanjut, dan jika gagal maka akan ke tahap penolakan
• Tahap adopsi (adopsi)

6. Setelah mengadopsi teknologi fermentasi jerami padi, peternak akan meminta informasi kepada peternak lainnya atau petugas penyuluh tentang apa yang dialami terkait teknologi fermentasi jerami padi
• Tahap konfirmasi (confirmation).

7. Bila peternak mengalami hambatan, dan kegagalan
selama pada tahap mencoba/konfirmasi/adopsi, maka
peternak akan memutuskan untuk tidak menggunakan atau menerapkan teknologi fermentasi jerami padi
• Tahap penolakan (rejection).

Penutup
Penyuluhan sangat memiliki peranan penting dalam pengembangan peternakan khususnya dalam penguatan kelompok tani dan peningkatan proses adopsi teknologi peternakan kepada peternak. Keberhasilan penyuluhan sangat ditentukan oleh model penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan peternak, yaitu ketepatan materi, metode dan media yang digunakan. Pengembangan kelompok tani ternak dilaksanakan dengan menumbuhkan kesadaran para peternak, dimana keberadaan kelompok tani tersebut dilakukan dari, oleh dan untuk peternak. Pengembangan kelompok tani perlu dilaksanakan dengan nuansa partisipatif sehingga prinsip kesetaraan, transparansi, tanggungjawab, akuntabilitas serta kerjasama menjadi muatan-muatan baru dalam pemberdayaan peternak.
Untuk meningkatkan adopsi teknologi peternakan dalam pengembangan sapi potong beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan terkait dengan teknologi yang diintodusir ke peternak. Teknologi harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh petani kebanyakan, memberi keuntungan secara konkrit bagi petani, mendayagunakan sumberdaya yang sudah ada, terjangkau oleh kemampuan finansial peternak, serta teknologi harus sederhana tidak rumit dan mudah dicoba peternak.
Daftar Pustaka
Abdullah, A dan Syamsu, J. A. 2008. Penguatan Kelompok Tani Ternak dalam Pengembangan Agribisnis Peternakan. Buletin Peternakan. Edisi XXVIII. Dinas Peternakan Prov. Sul Sel, Makassar

Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2002a. Pengembangan Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan. Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan Deptan, Jakarta

Ditjen Bina Produksi Peternakan. 2002b. Pengembangan Kelembagaan Peternak di Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan. Direktorat Pengembangan Peternakan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta

Fliegel, E.C, J.E. Kivlin And G.S. Sekhon. 1971. Message Distortion and The Diffusion of Innovations in Nothern India. Sociologica Ruralis.

Ginting, B. 2006. Adopsi teknologi oleh petani. http://pfi3p.litbang.deptan.go.id/
mod.php?mod=userpage&menu=60603&page_id=53

Hendayana, R dan Yusuf. 2003. Kajian Adopsi Teknologi Penggemukan Sapi Potong Mendukung Pengembangan Agribisnis Peternakan Di Nusa Tenggara Timur. Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003, Bogor

Herawati, A.R dan D. Junanto. 2003. Pemberdayaan Masyarakat Daerah: Tantangan Dalam Mengelola Sumber Daya Manusia Di Era Otonomi Daerah (Kasus Pembangunan Masyarakat Pertanian Di Beberapa Negara). Jurnal Good Governance Vol. 2 Maret 2003

Hermanto. 1999. Identivikasi dan evaluasi program, proyek. Penggalangan kemiskinan, PSE Bogor, Rapat Kerja Nasional Departemen Pertanian, Jakarta.

Kepas. 1990. Program Supra Insus di Jalur Pantura Jawa Barat: Masalah, Kendala dan Sasaran Untuk Perbaikannya. Badan Litbang Pertanian dan The Ford Fundation.

Maamun, M.Y., IGP Sarasuta, dan A.H. Malian, 1993. Makalah Lokakarya Pertemuan Teknis Evaluasi Dan Program Penelitian Dan Pengembangan Proyek P3nt/Ntasp Di Balittan Maros, 3-5 Juni 1993.

Mundy, P. 2000. Adopsi dan Adaptasi Teknologi Baru. PAATP3. Bogor

Musyafak, A dan Ibrahim, T.M. 2005. Strategi Percepatan Adopsi Dan Difusi Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 1 : 20-37

Muslim, C. 2006. Peranan Kelompok Peternak Sapi Potong dengan Pendekatan Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) di Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Departemen Pertanian, Bogor

Roger, E.M. and F.F. Shoemaker. 1971. Communication of Innovation: A Cross Cultural Approach. The Free Press. New York

Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar: Komunikasi Pertanian. UI Press. Jakarta

Suparta, N. 2007. Penyuluhan Sistem Agribisnis Suatu Pendekatan Holistik. Ps. Sosek Dan Agribisnis, Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar

Undang-Undang Republik Indonesia No 16. 2006. Undang-Undang No. 16 Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan.

PERLUNYA PENINGKATAN ADOPSI TEKNOLOGI PETERNAKAN

oleh
Agustina Abdullah
Mahasiswa Program Doktor UNDIP Semarang dan
Dosen Fak. Peternakan UNHAS

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 16 Tahun 2006, dinyatakan bahwa penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sistem penyuluhan adalah seluruh rangkaian pengembangan kemampuan, pengetahuan, keterampilan, serta sikap pelaku utama dan pelaku usaha melalui penyuluhan. Penyuluhan pertanian termasuk penyuluhan peternakan merupakan bagian dari pembangunan masyarakat pertanian yang diartikan sebagai pembangunan pertanian yang memihak petani. Dalam pelaksanaannya memerlukan berbagai perangkat material dan non-material, terutama keberanian untuk memihak. Elemen terpenting di dalam mengimplementasikan pembangunan masyarakat pertanian adalah elemen pemberdayaan sumber daya manusia petani yang menempati posisi sangat strategis yaitu berperan sebagai pelaku utama dan subyek pembangunan (prime mover to development).

Untuk memberdayakan petani peternak (farmer development) peran penyuluhan memiliki posisi yang strategis dan kunci utama keberhasilan pemberdayaan peternak adalah percaya kepada peternak. Dengan demikian, peran peternak dalam pembangunan masyarakat sebagai penentu keberhasilan pembangunan yang sangat berperan aktif dalam seluruh aspek kegiatannya. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi termasuk kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan peternakan. Pembangunan peternakan yang berdimensi masyarakat harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat berakhir di peternak dan berawal dari peternak. Konsep inilah yang akan menggeser paradima farmer last-top down menjadi farmer first-botton up.

Pemberdayaan peternak dapat berarti meningkatkan kemampuan atau kemandirian peternak dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan peternak untuk dapat berkembang. Disamping itu peningkatan kemampuan peternak dalam membangun termasuk kelembagaan peternak (kelompok tani) dan melakukan perlindungan melalui pemihakan kepada yang lemah dengan mencegah persaingan yang tidak seimbang serta menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan. Peran kelompok tani ternak sangat strategis sebagai wadah peternak untuk melakukan hubungan atau kerjasama dengan menjalin kemitraan usaha dengan lembaga-lembaga terkait dan sebagai media dalam proses transfer atau adopsi teknologi peternakan.

Berbicara tentang teknologi peternakan, merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan, karena teknologi sebagai alat untuk mencapai tujuan usaha peternakan disamping peternak sebagai subyek, ternak sebagai obyek, serta lahan dan lingkungan sebagai basis ekologi pengembangan peternakan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat sejumlah peternak dalam mengadopsi suatu teknologi peternakan hanya mengadopsi komponen tertentu saja dari keseluruhan teknologi yang diintroduksi. Beberapa penyebab rendahnya adopsi teknologi peternakan adalah keuntungan nilai tambah yang diperoleh peternak relatif kurang bila teknologi itu diadopsi, teknologi tidak memiliki daya adaptif atau kesesuaian dengan kondisi wilayah, sosial budaya setempat, serta keterbatasan yang dimiliki oleh peternak seperti keterbatasan dalam hal modal/biaya atas teknologi tersebut.

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan adopsi teknologi peternakan adalah memilih inovasi teknologi tepat guna yang memenuhi kriteria seperti teknologi harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh peternak, dan dapat memecahkan masalah yang sedang dihadapi petani sehingga diperlukan identifikasi masalah peternak secara benar, dan memberikan solusi masalah tersebut dengan inovasi teknologi. Selain itu, teknologi harus memberi keuntungan secara konkrit bagi peternak dan dijamin akan memberikan keuntungan lebih dibanding teknologi yang sudah ada. Jika hal ini terjadi, niscaya petani akan mempunyai semangat untuk mengadopsi teknologi tersebut. Teknologi untuk para peternak harus menggunakan sumberdaya yang sudah peternak miliki, dan jika sumberdaya dari luar diperlukan harus murah dan dapat diperoleh secara teratur, sehingga perlu adanya inventarisasi sumberdaya lokal yang tersedia dan memberikan teknologi yang memanfatkan sumberdaya lokal tersebut.

Kriteria lainnya yang harus dipenuhi oleh sebuah teknologi peternakan agar dapat diadopsi oleh peternak adalah teknologi harus sederhana, tidak rumit dan mudah dicoba peternak. Semakin mudah teknologi baru untuk dapat dipraktekkan, maka makin cepat pula proses adopsi inovasi yang dilakukan petani. Oleh karena itu, agar proses adopsi dapat berjalan cepat, maka penyajian inovasi harus lebih sederhana. Dengan demikian kompleksitas suatu inovasi mempunyai pengaruh yang besar terhadap percepatan adopsi inovasi. Untuk menemukan teknologi dengan kriteria tersebut, dilakukan dengan mengevaluasi apakah teknologi yang diintroduksikan sederhana (tidak rumit), jika memang rumit dilakukan peragaan, percontohan, pelatihan secara partisipatif.

Untuk itu perlu adanya pemahaman bagi setiap pelaku peternakan khususnya pihak luar yang akan mengintroduksi suatu teknologi peternakan kepada peternak bahwa proses adopsi teknologi melalui beberapa tahapan yaitu kesadaran (awareness), perhatian (interest), penaksiran (evaluation), percobaan (trial), adopsi (adopsi), konfirmasi (confirmation). Untuk mempermudah dalam memahami proses adopsi, dapat diberikan illustrasi tentang adopsi teknologi pengolahan limbah pertanian misalnya jerami padi sebagai pakan ternak. Jika peternak telah diperkenalkan teknologi tersebut, maka sejak itu peternak mengalami proses mental untuk menerima atau menolak teknologi tersebut, dengan tahapan pertama adalah peternak menyadari bahwa pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan dapat meningkatkan produktivitas ternak sapi (kesadaran). Selanjutnya peternak mulai tertarik terhadap teknologi dan mencari informasi tambahan dan lainnya mengenai hal tersebut (perhatian). Tahapan selanjutnya yang terjadi adalah peternak memikirkan dan menimbang apakah mampu membiayai segala biaya yang ditimbulkan dari teknologi, apakah teknologi benar-benar bermanfaat atau apakah peternak lainnya mau membantu mengerjakan teknologi tersebut (penaksiran), dan peternak mencoba teknologi pada saat musim panen padi, dan jika tahap ini berhasil maka akan berlanjut ke tahap adopsi, dan jika gagal maka akan ke tahap penolakan (percobaan).

Setelah peternak melakukan percobaan terhadap teknologi, peternak akan mengulangi misalnya pada musim penen berikutnya, peternak memutuskan untuk tetap melakukan teknologi pengolahan limbah pertanian dengan jumlah yang lebih besar. Jika tahap ini berhasil maka adopsi akan berlanjut, dan jika gagal maka akan ke tahap penolakan (adopsi). Setelah mengadopsi teknologi, peternak akan meminta informasi kepada peternak lainnya atau petugas penyuluh tentang apa yang dialami terkait teknologi tersebut sehingga akan diputuskan apakah teknologi akan dilanjutkan atau ditolak (konfirmasi).

Akhirnya untuk meningkatkan adopsi teknologi peternakan diperlukan adanya penyuluhan. Penyuluhan sangat memiliki peranan penting dalam pengembangan peternakan khususnya dalam peningkatan proses adopsi teknologi peternakan kepada peternak. Keberhasilan penyuluhan sangat ditentukan oleh model penyuluhan, dimana model penyuluhan harus didesain atas dasar analisis kebutuhan peternak yang dilakukan secara partisipatif yaitu adanya kesesuaian metode, materi dan media yang digunakan, karena teknologi peternakan tidak diadopsi dapat diakibatkan oleh salah satunya kesalahan dalam memilih model penyuluhan.