Kamis, 11 Juni 2009

Peternakan dengan Pendekatan Agroekosistem

Agustina Abdullah
Mahasiswa Program Doktor UNDIP Semarang dan
Dosen Fak. Peternakan UNHAS

Sering terdapat pandangan kurang tepat melihat sumberdaya ternak dan pengelolaannya sebagai bagian berdiri sendiri. Selama ini pandangan kita hanya melihat pengembangan ternak terpisahkan dengan sektor pertanian lainnya. Pandangan ini juga terjadi di subsektor tanaman pangan, perkebunan, dll, sehingga terjadi egosektoral, hanya mementingkan subsektornya masing-masing. Pandangan dimana melihat peternakan terpisahkan dengan lainnya membuat peternakan berkembang tidak optimal. Pemanfaatan sumberdaya terbatas, seperti pemanfaatan limbah pertanian tidak dilakukan karena tidak adanya sinergi antar subsektor dalam memanfaatkan sumberdaya. Kekeliruan pandangan seperti dikemukakan di atas menimbulkan deviasi permasalahan dalam pengembangan peternakan. Permasalahan yang dapat terjadi adalah ternak mengganggu tanaman lainnya, padahal ternak dapat dioptimalkan fungsinya sebagai sumber tenaga kerja di sub sektor tanaman pangan, dapat menghasilkan pupuk untuk meningkatkan kesuburan tanah dan tanaman. Akibatnya tidak jarang ternak dianggap hama, sesuatu yang keberadaannya dianggap merugikan.

Bagimana menghindari kekeliruan itu?. Diperlukan pendekatan sistem dalam pengelolaan ternak. Pendekatan sistem adalah pendekatan yang sinergi (saling menunjang), holistik (pandangan menyeluruh, tidak parsial/sendiri-sendiri), terpadu, dan saling mengisi antar sub sistem yang ada dalam sebuah sistem. Jika pendekatan sistem ini kita gunakan untuk pengelolaan ternak, maka segala hal yang terkait dengan pengembangan ternak dalam bentuk subsistem harus sinergi seperti lahan, pakan, peternak, dll. Segala sub sistem harus terpadu dalam sebuah agroekosistem.

Sebelum kita berbicara tentang pendekatan agroekosistem dalam pengelolaan ternak terlebih dahulu kita membahas tentang bagaimana ekosistem. Ekosistem adalah sebuah sistem dan dapat dilihat secara struktural. Secara struktural pada dasarnya ekosistem terdiri atas dua bagian subsistem yaitu biotik dan abiotik. Biotik terkait dengan makhluk yang hidup dan abiotik adalah makhluk tak hidup. Selanjutnya khusus subsistem biotik dibagi ke dalam tiga sub-subsistem yaitu produsen, konsumen, dan pengurai. Jika ekosistem secara struktural kita pandang secara fungsional (menurut fungsinya) dari masing-masing struktural tersebut dapat diterjemahkan menurut fungsinya. Untuk biotik ada yang berfungsi sebagai produsen, sebagai konsumen, dan sebagai pengurai. Antara biotik dan abiotik salah berhubungan secara fungsional.

Dalam agroekosistem terdapat keterkaitan/simbiosis antar komponen ekosistem, atau siapa mempengaruhi siapa. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, secara fungsional ada produsen yang jika diterjemahkan lebih jauh fungsi sebagai produsen dalam eksosistem dilakukan oleh tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan/tanaman dengan menerima masukan energi sinar matahari, hujan, menghasilkan sumber pangan/pakan yang dibutuhkan oleh ternak selaku konsumen. Dalam ekosistem tanaman sebagai produsen dan ternak sebagai konsumen saling terkait dan mendukung (sinergi). Tanaman menyediakan pakan untuk ternak dan dilain pihak ternak menghasilkan pupuk dengan kotorannya untuk tanaman. Hubungan secara timbal balik. Selanjutnya keberadaan tanaman sangat bergantung pada kondisi abiotik (tak hidup) yaitu lahan, tanah, zat hara, mineral tanah. Zat hara tanah dan kesuburan tanah sangat tergantung dengan keberadaan mikroba tanah, hewan tanah (cacing, dll) sebagai pengurai. Keterkaitan yang lain dalam ekosistem ini adalah antara ternak dengan pengurai. Ternak menghasilkan kororan/feses dan dengan mikroba terurai/terdekomposisi sehingga zat hara lebih tersedia dan pada gilirannya menyuburkan tanah (abiotik). Dengan demikian secara fungsional ternak dalam ekosistem memiliki peran penting. Disamping sebagai konsumen, juga dapat berfungsi sebagai produsen pada jenis ekosistem yang berbeda.

Jika dasar pemikiran kita melihat pengelolaan ternak melalui pendekatan sistem, maka ternak akan berada pada sebuah sistem yaitu sistem pertanian secara luas atau agroekosistem. Agroekosistem adalah sebuah sistem pertanian dimana subsistem dan subsubsistem di dalamnya saling terkait. Diketahui bahwa pertanian secara luas terdiri atas perkebunan, pertanian/tanaman pangan, kehutanan, perikanan, dan peternakan. Peternakan yang merupakan bagian dari agroekosistem harus bersinergi dan terpadu dengan bagian agroekosistem yang lain, khususnya saling mendukung dalam memanfaatkan sumberdaya seperti lahan. Jika pemikiran kita tidak melihat sebagai sebuah agroekosistem maka akan terjadi permasalahan dalam hal penguasaan sumberdaya lahan, akan terjadi klaim tentang penggunaan lahan dan terjadi saling mengabaikan. Akan terjadi ada bagian/subsektor misalnya tanaman pangan lebih penting dari yang lain atau sebaliknya. Dengan demikian akan tidak terjadi keterpaduan antar subsektor. Lebih jauh jika kita membangun semua ini dalam konteks pendekatan agroekosistem, maka tidak akan ada terjadi permasalahan seperti dikemukakan diatas. Terjadi saling mengisi dan memanfaatkan sumberdaya secara bersama dan terjadi hubungan saling menguntungkan (simbiose mutualisme), bukan saling merugikan.

Agroekosistem sebagai sebuah pendekatan dalam pengembangan peternakan dalam pelaksanaannya dapat dilakukan dengan pola integrasi ternak dan tanaman atau crop livestock system. Tanaman disini dapat diartikan sebagai intergrasi ternak-padi, integrasi ternak-jagung, integrasi ternak-coklat, integrasi ternak-kelapa, dll. Dalam crop livestock system keberadaan ternak dan tanaman saling terpadu dalam satu agroekosistem. Model pengembangan agroekosistem dalam pengembangan peternakan yang secara operasional dapat dikembangkan/dilakukan di tingkat petani yaitu dengan pola integrasi tanaman pangan (crop) dengan ternak sapi. Tanaman padi disamping menghasilkan produk utama padi/beras, juga ada limbah berupa jerami. Tanaman padi dalam agroseksistem dapat tumbuh dan berkembang dengan baik atas adanya unsur hara tanah yang baik, dan atas adanya penyinaran matahari, sumber air dari hujan. Limbah tanaman padi berupa jerami merupakan biomas yang dapat dimanfaatkan oleh ternak sebagai pakan. Sebaliknya, ternak menghasilkan pupuk untuk tanaman padi. Secara sederhana hubungan ini dapat terjadi dalam sebuah agroekosistem tanaman padi-ternak sapi. Pengembangan ternak sapi dan tanaman pangan dalam sebuah agroekosistem tidak dapat dipisahkan dengan potensi dan kemampuan manusia (peternak/petani). Manusia sangat bergantung juga dengan tanaman padi dan ternak sapi sebagai sumber pangan, dan sisi lain manusia/peternak sebagai pengelola (tenaga kerja).

Berbicara tentang pengembangan sapi maka dapat dibagi atas tiga hal yaitu ada input produksi, ada proses budidaya, dan ada output produksi. Pemeliharaan sapi memerlukan input utama adalah pakan, disamping input yang lain seperti obat-obatan, dll. Dalam proses budidaya dibutuhkan manajemen pemeliharaan yang baik seperti tingkat kelahiran ternak yang tinggi (minimal sekali dalam setahun) dengan melalui kawin alam. Namun demikian, tingkat kelahiran yang tinggi dapat dicapai jika adanya dukungan/dilakukan introduksi teknologi inseminasi buatan. Dengan teknologi IB tingkat kelahiran ternak dapat lebih ditingkatkan.

Output dari ternak sapi adalah berupa anak sapi jika dilakukan breeding (pembibitan), atau ternak sapi/daging jika dilakukan penggemukan. Disamping output tersebut juga dihasilkan limbah feses. Dengan sentuhan teknologi maka feses dapat diolah menjadi biogas sebagai sumber energi untuk keperluan memasak misalnya pada keluarga petani, dan pupuk yang digunakan untuk tanaman padi di sawah. Lebih jauh pupuk yang dihasilkan akan menjadikan tanaman padi tumbuh subur dan menghasilakan produk pangan beras. Jerami padi hasil dari limbah tanaman padi, dapat digunakan sebagai pakan. Namun, kita ketahui jerami padi rendah kualitasnya dan sulit dicerna sehingga perlu sentuhan teknologi dalam meningkatkan nilai manfaatnya sebagai pakan. Dengan introduksi teknologi pakan, jerami padi dengan optimal dapat dimanfaatkan sebagai pakan untuk sapi sebagai bagian input produksi dari pemeliharaan sapi.

Dengan demikian, pengembangan peternakan dengan pendekatan agroekosistem adalah sebuah pendekatan secara holistik dan simultan, serta solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di tingkat petani. Berbagai keterbatasan sumberdaya misalnya kelangkaan pupuk, kelangkaan minyak tanah, kekurangan pakan ternak dapat diatasi dan segala sumberdaya dimanfaatkan secara optimal. Semoga pendekatan agroekosistem dengan pola integrasi tanaman dan ternak sapi dapat terwujud terutama untuk mendukung peningkatan populasi sapi sejuta ekor di tahun 2013 di Sulawesi Selatan. Dan hal paling menentukan keberhasilan pola integrasi tanaman dan ternak sapi adalah adanya integrasi dan sinergi kebijakan antar sub sektor dalam pertanian dengan pandangan secara holistik dan menghilangkan adanya egosektoral.