Rabu, 29 Oktober 2008

PERSEPSI PETERNAK TERHADAP PEMANFAATAN LIMBAH TANAMAN PANGAN SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA DI KABUPATEN BULUKUMBA, SULAWESI SELATAN

Agustina Abdullah
Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan
Fak. Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar

PENDAHULUAN
Saat ini pembangunan peternakan khususnya ternak ruminansia diharapkan mampu menjadi salah satu lokomotif pembangunan khususnya dalam penyediaan sumber protein hewani berupa daging dan susu dalam rangka meningkatkan konsumsi pangan masyarakat. Namun demikian, peternakan sebagian besar berkembang pada skala peternakan rakyat yang berbasis di pedesaan dengan skala usaha masih tergolong skala usaha kecil. Di lain pihak, keberhasilan usaha peternakan ditentukan oleh beberapa faktor yaitu pemuliaan dan reproduksi, pengelolaan usaha dan pemeliharaan ternak, pencegahan penyakit dan pengobatan, peralatan dan bangunan, serta penyediaan dan pemberian pakan. Pakan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan usaha peternakan karena sekitar 70% dari biaya produksi dari usaha peternakan adalah biaya pakan. Ketersediaan pakan yang kontinyu dengan kualitas baik dan kuantitas yang cukup menjadi faktor penentu keberhasilan peternakan.

Pengembangan peternakan sangat terkait dengan pengembangan wilayah. Kabupaten Bulukumba adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang berpotensi untuk pengembangan peternakan. Jenis ternak ruminansia yang banyak dikembangkan adalah ternak sapi dan kambing. Berdasarkan data statistik peternakan tahun 2006, Kabupaten Bulukumba merupakan kabupaten penghasil ternak sapi terbesar keempat di Sulawesi Selatan yakni 66.395 ekor atau 8,84% dari total populasi di Sulawesi Selatan. Ternak yang lain adalah kambing yakni 27.170 ekor atau 5,21% dari total produksi di Sulawesi Selatan (BPS SULSEL, 2007). Disamping peternakan, wilayah ini memproduksi berbagai tanaman pangan. Sebagai illustrasi, tahun 2006 Kabupaten Bulukumba termasuk penghasil kacang tanah terbesar kedua (4.368 ton) dan jagung terbesar keempat (64.379 ton) di Sulawesi Selatan atau masing-masing 10,3% dan 12,0% dari total produksi di Sulawesi Selatan. Produksi yang lain adalah padi 142.165 ton, ubi jalar 2.898 ton, ubi kayu 26.943 ton, kedelei 165 ton, serta kacang hijau 145 ton. Besarnya produksi tanaman pangan memberikan implikasi terhadap meningkatnya jumlah limbah tanaman pangan yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia. seperti jerami padi, jerami jagung, jerami kedelei, pucuk ubi kayu, jerami kacang tanah, serta jerami ubi jalar. Ketersediaan limbah tanaman pangan dipengaruhi oleh luas areal panen komoditi tanaman pangan di suatu daerah, dimana semakin tinggi luas areal panen maka produksi limbah tanaman pangan akan semakin besar.

Khusus ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, hijauan merupakan sumber makanan utamanya. Hijauan pakan yang umum diberikan untuk ternak ruminansia adalah rumput-rumputan yang berasal dari padang penggembalaan atau padang rumput, tegalan, pematang serta pinggiran jalan. Beberapa kendala dalam penyediaan hijauan adalah perubahan fungsi lahan yang sebelumnya sebagai sumber hijauan menjadi lahan pemukiman, lahan tanaman pangan, dan tanaman industri sehingga lahan padang penggembalaan sebagai sumber hijauan berkurang. Di samping itu ketersediaan hijauan juga dipengaruhi oleh musim, dimana saat musim hujan produksi hijuan tinggi di lain pihak saat musim kemarau produksi hijauan kurang (Syamsu et al., 2003).

Salah satu upaya untuk mengatasi keterbatasan sumber hijauan untuk memenuhi kebutuhan hijauan pakan ternak ruminansia adalah dengan memanfaatkan limbah tanaman pangan. Lahan tanaman pangan yang semakin luas menyebabkan luas areal panen meningkat, sehingga produksi limbah pertanian juga meningkat. Oleh sebab itu pemanfaatan limbah tanaman pangan adalah alternatif yang tepat sebagai sumber pakan untuk ternak ruminansia. Untuk itu penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui persepsi peternakan terhadap pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survei dengan melakukan wawancara kepada peternak (responden). Wawancara menggunakan bantuan kuisioner terstruktur dengan jawaban terbuka dan tertutup. Penelitian dilaksanakan pada lokasi (kecamatan) berdasarkan kepadatan ternak wilayah. Kepadatan ternak wilayah dihitung menurut Ditjen Peternakan dan Balitnak (1995). Berdasarkan kepadatan ternak wilayah, kecamatan lokasi terpilih adalah Kecamatan Gangking mewakili wilayah dengan kepadatan ternak ruminasia dalam kategori rata-rata, dan Kecamatan Bulukumba mewakili wilayah dengan kepadatan ternak ruminansia dengan kategori padat.
Pemilihan petani peternak yang terlibat dalam penelitian dilakukan secara acak (simple random sampling) menurut Mantra dan Kasto (1995). Jumlah responden yang terlibat sebanyak 96 peternak di dua kecamatan lokasi penelitian (Kecamatan Gangking dan Bulukumba) dengan dua desa untuk setiap kecamatan. Untuk menggali informasi lebih mendalam dilakukan focus group discussion dengan peternak. Di samping itu dilakukan pula wawancara secara mendalam (indepth study) kepada beberapa informan kunci. Data primer yang digali dari peternak responden meliputi karakteristik responden yaitu umur, pendidikan, pengalaman beternak; aspek manajemen pakan yaitu sistem pemberian pakan, jenis pakan, penggunaan pakan tambahan, penyediaan pakan ; dan pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan, serta penggunaan terknologi pakan. Data hasil survei evaluasi pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia dianalisis secara statistik deskriptif (Mattjik dan Sumertajaya, 2000) dengan tabulasi data, konversi data, rataan data dan diolah dengan menggunakan bantuan SPSS versi 12.0.1.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan survei terhadap responden dapat diketahui keadaan umum peternak responden yaitu umur peternak, tingkat pendidikan, pekerjaan utama, dan pengalaman beternak.Umur peternak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pendapatan dan efisiensi ekonomi. Menurut Soekartawi (1988) bahwa umur peternak selaku tenaga kerja pada usaha tani di pedesaan sering menjadi penentu besar kecilnya penerimaan. Bila dikaji dari karakteristik umur responden, sebagian besar peternak dalam kategori usia yang produktif 20-45 tahun yaitu 77.08%, sementara peternak yang berumur diatas 50 tahun sebanyak 22.92%. Chamdi (2003) mengemukakan, semakin muda usia peternak umumnya rasa keingintahuan terhadap sesuatu semakin tinggi dan minat untuk mengadopsi terhadap introduksi teknologi semakin tinggi.
Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam mengembangkan sumber daya peternak. Pendidikan akan menambah pengetahuan dan keterampilan sehingga akan meningkatkan produktivitas kerja yang akan menentukan keberhasilan usahanya. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pendidikan peternak sebagian besar (56,25%) berpendidikan sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama, sedangkan yang tamat SLTA sebesar 16,67% dan hanya 1,04% yang tamat perguruan tinggi. Namun demikian, jumlah responden yang tidak menamatkan pendidikan sekolah dasar sebesar 26,04%.

Pekerjaan responden didominasi oleh petani yaitu 83,33%. Responden lainnya berprofesi sebagai pedagang, pegawai dan pensiunan masing-masing 8,33%, 4,17% dan 1,04%. Hal yang cukup menarik untuk dikemukakan adalah adanya keterlibatan perempuan (ibu rumah tangga) dalam mengelola usaha tani ternak, yaitu sebesar 3,13%. Soejana (1993) menyatakan bahwa pada umumnya penduduk pedesaan mencurahkan perhatiannya pada usaha pokoknya yaitu sebagai petani sehingga dalam pemeliharaan ternaknya kurang diperhatikan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar usaha peternakan dilakukan sebagai usaha sambilan sehingga perhatian peternak terhadap usaha peternakannya kurang baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peternak sebagian besar (76,05%) pengalaman beternaknya antara 10-30 tahun. Pengalaman beternak yang diperoleh peternak sebagian besar diperoleh dari orang tuanya secara turun temurun. Dengan pengalaman beternak yang dimiliki, peternak mempunyai tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan peternak pada aspek reproduksi, pemberian pakan, tatalaksana pemeliharaan sehingga mengakibatkan pengelolaan usaha tani ternak akan lebih baik.

Sistem pemeliharaan ternak di Kabupaten Bulukumba sebanyak 64,59% peternak responden melepas ternaknya pada siang hari dan diikat pada malam hari, serta mengkandangkan ternaknya pada malam hari saja. Sisanya, 14,58% peternak mengkandangkan ternaknya sepanjang hari dan melepas ternaknya sepanjang hari (20.83%). Peternak yang memilih melepas ternaknya sepanjang hari memiliki persepsi bahwa keamanan ternak mereka lebih terjamin jika dilepas berpencar, termasuk di malam hari, daripada jika dikandangkan. Alasannya, jika pada malam hari ternak dikandangkan ditinjau dari sisi keamanan (pencurian ternak) akan lebih mudah dan jumlah ternak yang dicuri lebih banyak karena terkonsentasi dalam satu tempat (kandang). Berbeda jika dilepas begitu saja, pencuri akan kesulitan mengejar dan mengumpulkan ternak jika pemiliknya melepasnya pada lahan yang luas.
Di lain pihak, bagi peternak yang mengkandangkan ternaknya sepanjang hari (intensif) dilakukan untuk mempermudah dalam hal pemberian pakan. Namun, peternak yang melakukan pengankandangan ternak hanya pada malam hari saja untuk keamanan dari pencurian ternak. Persepsi peternak dalam melihat dan mengantisipasi risiko kecurian ternak memang berbeda-beda, namun masing-masing peternak merasa yakin dengan sistem pemeliharaan yang dilakukan.
Manajemen pemeliharaan ternak tersebut di atas, sangat berpengaruh terhadap aspek manajemen pemberian pakan. Ternak yang dilepas oleh pemiliknya memiliki peluang untuk memperoleh pakan antara lain dari rumput di pematang sawah, pekarangan atau padang penggembalaan. Peternak yang memberikan pakan bagi ternaknya dengan cara merumput di pematang sawah/pekarangan yaitu 32,29%. Sistem pemberian pakan yang banyak dilakukan oleh peternak adalah merumput di sawah, kebun, pekarangan serta diberi rumput potongan (56,25%) dan merumput di padang penggembalaan hanya 11,46%. Kurangnya peternak melakukan penggembalaan ternak karena selain lokasi padang penggembalaannya jauh, juga belum tentu ternak akan mendapat rumput yang disukainya. Hal di atas menunjukkan bahwa lahan garapan yaitu sawah dan kebun menjadi basis ekologis bagi ternak sebagai penyedia hijauan dan tempat pemeliharaan ternak, sementara lahan padang penggembalaan terdapat indikasi berkurang ditunjukkan dengan rendahnya peternak yang melepas ternaknya di pandang penggembalaan. Terdapat kecenderungan ketersediaan hijauan pakan di padang penggembaalan sangat terbatas dan keberadaannya di pedesaan jauh dari pemukiman penduduk (Setiadi, et al. 1995). Dari paparan tersebut, menunjukkan bahwa peternak cenderung memelihara ternak secara tradisional dan alami. Hal ini dipengaruhi oleh pekerjaan bukan hanya sebagai peternak, akan tetapi kadang-kadang merangkap sebagai petani penggarap sawah ketika musim hujan/tanam, sehingga memelihara ternak secara intensif belum dilakukan secara optimal. Para peternak cenderung menggunakan rumput saja karena lebih mudah pemberiannya untuk ternak. Sedangkan untuk menggunakan daun-daunan dan limbah pertanian, dianggap merepotkan dalam penyediaannya.
Pakan tambahan yang diberikan peternak yaitu dedak, konsentrat, garam, dedak dan garam, serta mineral. Pakan tambahan berupa dedak, paling banyak digunakan peternak (60,42%). Selain menggunakan dedak, pakan tambahan lainnya yang digunakan yaitu garam. Peternak memberikan pakan tambahan biasanya dicampurkan dengan pakan lainnya seperti rumput. Konsentrat dan mineral, tidak digunakan sebagai pakan oleh responden yang disurvei, di samping harganya mahal dan ternak yang dipelihara lebih menyukai jika diberikan pakan dedak atau garam saja.
Dilain pihak, dalam penyediaan pakan, peternak menempuh empat cara yaitu menanam rumput, menanam leguminosa, menanam rumput dan leguminosa, serta pengawetan hijauan (hay, silase, amoniasi, dll). Namun demikian, sebesar 57,29% menyatakan bahwa ketersediaan pakan tidak tersedia setiap saat atau fluktuatif/musiman, dimana saat musim kemarau hijauan tidak/kurang tersedia.
Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan di Kabupaten Bulukumba tergolong masih rendah. Hal ini dapat dilihat bahwa dari total 96 responden dari dua kecamatan yang disurvei, masih banyaknya peternak yang tidak menggunakan limbah tanaman pangan sebagai pakan yaitu 55,21% dari total responden, dan sebanyak 44,79% responden menggunakan limbah tanaman pangan sebagai pakan. Alasan limbah tanaman pangan tidak digunakan sebagai pakan, peternak memberikan beberapa argumentasi antara lain a) masih menganggap ketersediaan rumput alam masih mencukupi untuk ternak, b) setelah panen khususnya padi, secepatnya dilakukan pembersihan sawah karena akan dilakukan penanaman kembali terutama pada pola pertanian yang intesif sehingga jerami padi dibakar, c) sulitnya mengumpulkan jerami padi dan pengangkutannya ke sekitar rumah (pemukiman), karena lahan sawah relatif jauh dari rumah.

Dilain pihak, persepsi peternak yang menggunakan limbah tanaman pangan (44,79% peternak), yaitu a) limbah tanaman pangan dapat menjadi sumber pakan alternatif, khususnya jika hijauan rumput tidak tersedia terutama saat musim kemarau, b) limbah tanaman pangan dapat dijadikan sebagai stok pakan dengan cara melakukan penyimpanan. Cara penyimpanan yang dilakukan peternak tergolong masih konvensional dengan menyimpan/ditumpuk di bawah kolong rumah.
Tabel 3 memperlihatkan bahwa dari sejumlah peternak yang menggunakan limbah sebagai pakan, sebagian besar menggunakan jerami padi, jerami jagung dan jerami kedelai masing-masing 28, 26 dan 27 responden. Tingginya jumlah peternak yang menggunakan jerami padi dan jerami jagung sebagai pakan dibandingkan dengan limbah yang lain disebabkan karena jumlah produksi limbah tersebut lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan limbah yang lain. Di samping menggunakan jerami padi, jagung dan kedelai, limbah yang lain juga digunakan sebagai pakan. Jumlah responden yang menggunakan jerami kacang tanah, jerami kacang hijau, jerami ubi jalar dan pucuk ubi kayu masing-masing 18,60%; 11,63%; 16,28 dan 11,63% dari total responden.
Terkait dengan teknologi pakan, Tabel 3 menunjukkan bahwa 54 responden atau 56,25% mengetahui tentang teknologi pakan, dan selebihnya tidak mengetahui teknologi pakan. Para peternak mengetahui teknologi pakan melalui berbagai sumber seperti pelatihan, bimbingan dan demonstrasi yang dilakukan aparat dinas peternakan atau instansi lainnya, serta dari sumber media cetak dan elektronik. Jenis teknologi yang diketahui oleh peternak adalah amoniasi atau fermentasi lainnya yang mencapai 50% peternak. Namun demikian, bagi peternak yang mengetahui teknologi pakan hanya 24,07% yang menerapkan atau melakukan teknologi tersebut.
Beragam alasan yang dikemukan terkait tidak diterapkannya teknologi tersebut antara lain, menganggap teknologi pakan tidak efektif dan hanya menghabiskan/membuang waktu saja. Di samping itu peternak terkendala dengan penyimpanan limbah, biaya pengolahan limbah yang dianggapnya mahal, dan kendala transportasi pengangkutan dari tempat asal limbah ke tempat penyimpanan/pemukiman. Peternak akhirnya beranggapan bahwa akan lebih efektif dan tidak mengeluarkan biaya jika teknologi tersebut tidak diterapkan. Penyimpanan yang dilakukan selama ini oleh para peternak juga tidak dalam jumlah besar. Pengambilan limbah pertanian biasanya dilakukan saat mereka meninggalkan sawah mereka dan menyimpan limbah ke dalam karung-karung kecil untuk dibawa ke rumahnya. Peternak pun mengambilnya tidak setiap saat, namun pengambilan dilakukan saat mereka merasa membutuhkannya atau ketika ternak peliharaannya tidak dilepas merumput. Menurut Ghosh, et al (2004) bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi adopsi peternak terhadap suatu inovasi teknologi yaitu (a) sifat/karakter individu/kelompok yang melakukan tindakan adopsi, (b) faktor sosial, ekonomi dan budaya, (c) penampilan dan kesesuaian teknologi, dan (d) faktor eksternal yaitu pelayanan dan kebijaksanaan dari lembaga terkait.

KESIMPULAN
Secara umum peternak dalam manajemen pemeliharaan ternak ruminansia khususnya sapi potong masih dalam skala usaha tradisional yaitu dengan sistem dilepas sepanjang hari, dan dilepas siang hari dan hanya diikat di malam hari. Dengan demikian, untuk memanfaatkan limbah tanaman pangan mengalami kendala dalam pemberian pakan kepada ternak, sehingga jumlah peternak yang menggunakan limbah tanaman pangan sebagai pakan masih kurang.
Persepsi peternak yang menggunakan limbah tanaman pangan sebagai pakan memiliki pandangan dan persepsi bahwa limbah tanaman pangan dapat a) menjadi sumber pakan alternatif, khususnya jika hijauan rumput tidak tersedia terutama saat musim kemarau, b) dijadikan sebagai stok pakan dengan cara melakukan penyimpanan dan pengawetan dengan sentuhan teknologi pakan.
Jenis teknologi pakan yang diketahui peternak yaitu amoniasi jerami, hay, fermentasi dan teknologi silase. Namun demikian, peternak masih kurang yang menerapkan teknologi tersebut. Beberapa hal yang menjadi alasan sehingga teknologi pakan tidak dilakukan yaitu menganggap teknologi pakan tidak efektif, hanya menghabiskan/membuang waktu saja, terkendala dengan penyimpanan limbah, biaya pengolahan limbah dan transportasi pengangkutan dari tempat asal limbah ke tempat penyimpanan/pemukiman mahal.

DAFTAR PUSTAKA
BPS SULSEL. 2007. Sulawesi Selatan dalam Angka 2006. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar

Chamdi, A. N. 2003. Kajian profil sosial ekonomi usaha kambing di kecamatan Kradenan kabupaten Grobogan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 29-30 September 2003. Puslitbang Peternakan Departemen Pertanian, Bogor.

Ghosh, R.K , A. Goswami and A. K. Mazumdar. 2004. Adoption behaviour of dairy farmers in Co-operative Farming Systems. Livestock Research of Rural Development 16 (11). http://www.cipav.org.co/lrrd/lrrd16/11/trach132.htm. [21 Agustus 2006].

Direktorat Jenderal Peternakan dan Balai Penelitian Ternak. 1995. Pedoman Analisis Potensi Wilayah Penyebaran dan Pengembangan Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Balai Penelitian Ternak, Jakarta

Mantra, I. B dan Kasto. 1995. Penentuan sampel. Di dalam : Singarimbun A, Effendi S, editor. Metode Penelitian Survai. LP3ES, Jakarta.

Mattjik, A. A dan M, Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan. Jilid I. IPB Press, Bogor

Setiadi, B, Subandrio, L.C. Iniguez. 1995. Reproductive performance in small ruminant on outreach pilot project in West Java. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1: 73-80.

Soejana, T.D. 1993. Ekonomi Pemeliharaan Ternak Ruminansia Kecil. Di dalam : Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press, Surakarta

Soekartawi, 1988. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Rajawali, Jakarta.

Soetanto, H. 2001. Teknologi dan Strategi Penyediaan Pakan dalam Pengembangan Industri Peternakan. Makalah Workshop Strategi Pengembangan Industri Peternakan, Makassar 29-30 Mei 2001. Fakultas Peternakan UNHAS dan Puslitbang Bioteknologi LIPI, Makassar

Syamsu, J.A., L.A.Sofyan, K.Mudikdjo dan E.Gumbira Sa'id. 2003. Daya dukung limbah pertanian sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia. Wartazoa 13(1) : 30-37