Selasa, 17 November 2009

PENINGKATAN ADOPSI TEKNOLOGI PAKAN DENGAN PENDEKATAN PARTISIPATIF UNTUK PENGEMBANGAN SAPI POTONG

Agustina Abdullah1 dan C. Imam Sutrisno2
1Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan Fakultas Peternakan UNHAS Makassar
2Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan UNDIP Semarang

Dipresentasikan dalam
SEMINAR NASIONAL PETERNAKAN BERKELANJUTAN “Pengembangan Sistem Produksi dan Pemanfaatan Sumberdaya Lokal Untuk Kemandirian Pangan Asal Ternak dilaksanakan oleh Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran, Bandung 21-22 Oktober 2009

PENDAHULUAN

Pembangunan pertanian berbasis sektor peternakan dalam rangka peningkatan pendapatan petani peternak, pemerataan kesempatan kerja, perekonomian dan pemenuhan kebutuhan protein hewani dalam rangka pembangunan nasional pada umumnya merupakan program strategis yang perlu dikembangkan dalam bidang agribisnis melalui pola sistem pertanian terpadu (integrated farming system). Pada kenyataannya sektor pertanian dan sektor peternakan merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dimana keduanya tidak akan terlepas dan saling melengkapi. Melihat potensi negara Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang sangat mendukung merupakan peluang yang luas dalam melakukan usaha agribisnis pertanian dan peternakan (Imam, 2003).

Usaha ternak sapi potong secara umum dikelompokkan menjadi dua pola usaha, yaitu penggemukan dan pembibitan/pembesaran. Pola usaha penggemukan bertujuan untuk menggemukkan sapi umur muda dalam jangka waktu tertentu, kemudian dijual sebagai hewan potong. Sedangkan pola usaha pembibitan/ pembesaran bertujuan untuk menghasilkan anak kemudian dibesarkan (Ahmad et al., 2004). Dilain pihak, Yusdja (2004) menyatakan bahwa pada dasarnya ada enam bentuk struktur penguasaan dan pengusahaan ternak sapi potong yang dapat dipahami yakni : 1). Kelompok peternakan rakyat wilayah tanaman pangan. Pemeliharaan ternak sapi bersifat tradisional dan pemilikan sapi erat kaitannya dengan usaha pertanian. Bentuk ini umumnya ditemukan di pulau Jawa, 2). Kelompok peternakan rakyat yang tidak terkait dengan tanaman pangan. Pemeliharaan sapi bersifat tradisional dan pemilikan erat kaitannya dengan ketersediaan padang penggembalaan atau hijauan. Bentuk pemeliharaan ternak seperti ini sudah umum di Sumatera dan Indonesia Bagian Timur, 3). Kelompok peternakan rakyat dengan sistem bagi hasil. Pemeliharaan ternak mempunyai tujuan yang tergantung pada kesepakatan, 4). Kelompok usaha peternakan rakyat dan skala kecil. Pemeliharaan bersifat intensif, 5). Kelompok usaha peternakan skala menengah. Pemeliharaan sapi sangat intensif, penggunaan teknologi rendah. Kelompok ini terbagi dua yaitu kelompok usaha ternak sapi potong mandiri, dan kelompok usaha ternak sapi potong bermitra, serta 6). Kelompok usaha peternakan swasta skala besar (feedlotters). Pemeliharaan sapi dilakukan intensif, menggunakan teknologi tinggi.

Namun demikian, menurut Yusdja dan Ilham (2003) dimasa yang akan datang struktur pemilikan atau pengusahaan ternak akan mengalami perubahan, karena hal- hal berikut :

1. Adanya perubahan struktur penggunaan lahan, dari persawahan menjadi lahan untuk keperluan sektor non pertanian. Sehingga jika kehadiran ternak sapi dikaitkan dengan perkembangan pertanian, berarti dengan menyusutnya lahan pertanian di masa mendatang akan diikuti oleh menyusutnya jumlah ternak.

2. Introduksi traktor akan menggantikan peran ternak sapi, akan menyebabkan hilangnya budaya pertanian dengan menggunakan ternak sapi. Introduksi traktor pertanian bagaimanapun juga akan mempengaruhi populasi ternak. Selama ini kebijakan introduksi traktor tidak disertai dengan kebijakan yang dapat mengarahkan tujuan pemeliharaan ternak menjadi sumber penghasil daging.

3. Suplai daging dari usaha rakyat menghadapi stagnasi (karena nomor 1 dan 2 diatas) sedangkan permintaan daging sapi terus melonjak maka akan muncul perusahaan-perusahaan skala besar untuk mengisi kekosongan produksi sapi yang tidak lagi bisa diandalkan dari usaha rakyat.

4. Pergeseran tenaga pertanian dari pedesaan ke kota menyebabkan penurunan jumlah petani dan sekaligus menyebabkan menyusut pula jumlah pengelola ternak, sehingga jumlah ternak diramalkan menyusut. Sekalipun petani yang masih tertinggal telah diberi penyuluhan tentang mengalihkan fungsi sapi dari fungsi kerja menjadi sumber pendapatan, tetapi pemerintah tidak menyadari bahwa tindakan itu berarti mengubah budaya padat karya menjadi padat modal. Sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh petani.

Daerah sentra produksi sapi potong dapat dapat dilihat dan dikarakterisasi dari jumlah populasi ternak daerah tersebut. Karena perkembangan ternak di suatu daerah menggambarkan kemampuan sumberdaya di daerah tersebut, seperti ketersediaan pakan, keberadaan peternak dan sistem pendukung lainnya. Berdasarkan kriteria itu, daerah yang diprioritaskan untuk pengembangan sapi potong adalah Jatim, Jateng, Sulsel, NAD, Sumbar, Bali, NTT, NTB, Lampung, Sumsel, dan Sultra (Ilham, 2007). Namun demikian ada juga daerah-daerah yang populasi ternaknya terbatas. Hal ini dapat disebabkan belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya pakan, seperti pakan hijauan dan limbah agroindustri untuk industri ternak. Disamping itu tingginya konsumsi daerah tersebut menyebabkan banyak terjadi pemotongan ternak. Daerah seperti ini merupakan daerah potensial untuk dikembangkan sebagai sentra produksi sapi potong, seperti Sumatera Utara dan Jawa Barat.

INOVASI DAN ALIH TEKNOLOGI PAKAN

Peningkatan produksi dan produktivitas ternak sapi potong sangat tergantung dari tiga faktor yaitu pakan, pemuliabiakan dan pemeliharaan. Pakan bagi ternak ruminansia tergantung dari penyediaan hijauan dengan jumlah cukup, berkualitas tinggi dan berkesinambungan sepanjang tahun. Rendahnya nilai gizi dan fluktuasi produksi hijauan pakan sepanjang tahun merupakan masalah penyediaan pakan di Indonesia sampai saat ini (Sutrisno, 2009). Pakan merupakan salah satu faktor dasar yang penting dalam usaha ternak karena mempunyai pengaruh yang besar terhadap produktivitas ternak. Pakan dari sudut nutrisi merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk menunjang kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, produksi dan atau reproduksi ternak. Pakan yang baik akan menjadikan ternak sanggup menjalankan fungsi proses dalam tubuh secara normal. Dalam batas normal, pakan bagi ternak berguna untuk menjaga keseimbangan jaringan tubuh, dan menghasilkan energi sehingga mampu melakukan peran dalam proses metabolisme (Ahmad et al., 2004).

Secara umum untuk pengembangan pakan memiliki permasalahan-permasalahan, antara lain : a) kebutuhan bahan baku pakan tidak seluruhnya dipenuhi dari lokal sehingga masih mengandalkan impor, b) bahan baku pakan lokal belum dimanfaatkan secara optimal, c) ketersediaan pakan lokal tidak kontinyu dan kurang berkualitas, d) penggunaan tanaman legum sebagai sumber pakan belum optimal, e) pemanfaatan lahan tidur dan lahan integrasi masih rendah, f) penerapan teknologi pakan masih rendah, g) produksi pakan nasional tidak pasti akibat akurasi data yang kurang tepat, serta h) penelitian dan aplikasinya tidak sejalan (Budiman, 2001).

Untuk mengatasi berbagai permasalahan di atas, maka kebijaksanaan pengembangan pakan ternak diarahkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan bahan baku pakan lokal untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku pakan. Kebijaksanaan pengembangan pakan ternak meliputi : a) kebijakan pakan konsentrat, yaitu mengusahakan tersedianya bahan baku pakan konsentrat dengan jumlah dan mutu yang terjamin, mudah diperoleh disetiap waktu dan tempat serta harganya dapat dijangkau oleh peternak, mengusahakan adanya berbagai pilihan produsen pengolah pakan mulai dari pabrik besar sampai pada unit-unit pengolahan pakan skala kecil yang ada di pedesaan, mengusahakan agar dapat dibangunnya silo-silo seperti silo jagung pada sentra produksi jagung, serta mengkaji ulang standar mutu bahan baku pakan dan pakan. b) pengembangan pakan hijauan, yaitu mengoptimalkan lahan-lahan potensial untuk penyediaan bahan pakan hijauan dengan meningkatkan partisipasi peternak, mengembangkan teknologi limbah pertanian dan industri pertanian untuk pakan, mengembangkan jenis-jenis hijauan pakan sesuai dengan kondisi agroklimat setempat, serta mengembangkan tanaman leguminosa lokal sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pakan hijauan yang diberikan peternak (Sudardjat, 2000).

Secara spesifik, Sutrisno (1985) dan Nitis (1993) memberi solusi untuk mengatasi kekurangan dan ketidak-kontinyuan penyediaan hijauan pakan di daerah marjinal yang biasanya padat ternak, yaitu dengan : (1) meningkatkan penggunaan tanah-tanah kosong dibatas pekarangan, tepi jalan, pematang sawah, dan tegalan. (2) memanfaatkan tanah di bawah tegakan pohon, (3) meningkatkan usaha tumpangsari tanaman pakan dengan tanaman pangan (companion cropping system), (4) penanaman leguminosa pohon dengan tanaman pangan (alley cropping system), (5) meningkatkan produktivitas tanah kritis melalui (a) penanaman tanaman pagar berupa leguminosa pohon di lahan pekarangan (home plot system), dan (b) penanaman rumput dan leguminosa secara berlapis, pada lapis pertama penanaman rumput dengan leguminosa herba, lapis kedua leguminosa perdu dan lapis ketiga dengan tanaman berbentuk pohon yang mampu menghasilkan hijauan (three strata forage system), (6) memanfaatkan kelebihan produksi pada musim panen, dan (7) memanfaatkan limbah pertanian maupun limbah rumah pemotongan hewan (RPH) dengan meningkatkan kualitasnya terlebih dahulu.

Dilain pihak, Soetanto (2000) menyatakan bahwa untuk mengatasi masalah pakan secara umum dapat dilakukan tiga pendekatan. Pertama, memperluas keragaman sumber pakan dengan melakukan upaya pemanfaatan lahan tidur untuk penanaman hijauan makanan ternak, pemanfaatan limbah pertanian dan industri, dan menghidupkan kembali tanah-tanah pangonan. Selain itu dengan melakukan sistem pertanian lorong dan intensifikasi lahan pekarangan dengan memanfaatkan leguminosa perdu. Kedua, meningkatkan kualitas pakan melalui peningkatan kualitas pakan basal, peningkatan nilai nutrisi protein serealia dan upaya menghilangkan senyawa antinutrisi dalam pakan. Ketiga, memperbaiki sistem pemberian pakan dengan upaya yang dilakukan adalah perbaikan formulasi ransum ternak yang sesuai dengan daerah tropis dan manajemen pemberian pakan untuk ternak.

Pengembangan pakan seharusnya mengembangkan potensi sumberdaya pakan lokal dengan teknologi yang sesuai. Kesediaan dan harga jenis pakan sangat tergantung pada musim. Jika musim kemarau atau musim hujan terlalu panjang, maka para peternak akan kesulitan mencari bahan pakan untuk ternaknya dan harga rumput sangat tinggi pada musim kemarau karena kelangkaannya, sedangkan pada musim penghujan ketersediaanya sangat melimpah dan harganya murah. Sementara untuk limbah pertanian dan industri pertanian, secara umum keberadaannya masih melimpah dan pemanfaatan masih belum optimal, maka perlu adanya sebuah teknologi untuk mengolah maupun mengawetkan sumber pakan baik yang berasal dari limbah maupun hijauan. Teknologi pengolahan pakan sebagai sebuah teknologi pendukung untuk usaha ternak, relatif sudah dikembangkan untuk peternakan unggas, namun belum banyak untuk ruminansia (Sutrisno, 2009 ; Sudardjat, 2000 ; Budiman, 2001).

Secara umum dalam penerapan teknologi, tak terkecuali teknologi pakan harus dipandang sebagai mekanisme perubahan sosial di masyarakat. Laurer (1993) berpendapat bahwa dengan penerapan teknologi mendorong terjadinya perubahan-perubahan yaitu pertama, teknologi memberikan alternatif bagi manusia. Teknologi baru membawa cita-cita yang sebelumnya tak mungkin dicapai kedalam alam kemungkinan, teknologi juga dapat mengubah kesukaran relatif dan memudahkan penyadaran akan nilai-nilai yang berbeda. Jadi dengan inovasi teknologi berarti masyarakat dihadapkan dengan sejumlah alternatif dan jika ia memilih alternatif baru, maka ia memulai perubahan di berbagai bidang. Kedua, teknologi mengubah pola-pola interaksi dalam masyarakat. Segera setelah suatu teknologi diterima, mungkin akan terjadi pergeseran yang dianut oleh teknologi itu sendiri. Ketiga, mengapa teknologi mempengaruhi perubahan, terletak pada kecenderungan perkembangan teknologi menimbulkan masalah baru dalam masyarakat.

Peningkatan penerapan teknologi pengolahan pakan merupakan salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi kekurangan pakan khususnya pada ternak ruminansia, seperti sapi potong. Melalui inovasi teknologi pakan, khususnya limbah pertanian dan industri dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak yang potensial berbasis bahan baku lokal. Pengolahan dapat dilakukan melalui proses fisik, biologis dan kimiawi dengan teknik hidrolisis, fermentasi dan amoniasi. Keunggulan pengembangan pakan berbasis bahan baku lokal antara lain: 1) harga lebih murah, 2) mudah dalam pengumpulan bahan baku dan distribusi produk, 3) nilai tambah dari kegiatan prosesing pakan diperoleh langsung para peternak, 4) dapat menumbuh kembangkan embrio usaha agroinput pada skala usaha kecil dan menengah di daerah-daerah sentra produksi ternak, serta 5) membantu penyediaan bahan pakan seimbang karena adanya imbangan konsentrat dan kandungan nutrisi yang baik sehingga akan meningkatkan konsumsi bahan kering (Sutrisno, 2009).

Upaya pengembangan pakan melalui penggunaan teknologi pakan khususnya pada sapi potong telah banyak dilaporkan beberapa peneliti, diantaranya Ahmad et al., (2004) melaporkan bahwa dalam usaha penggemukan sapi sistem kereman selama lima bulan dengan menggunakan teknologi introduksi berupa perbaikan komposisi pakan dan penanggulangan penyakit mampu meningkatkan pertambahan berat badan harian sapi secara sangat nyata dibandingkan dengan teknologi petani yang hanya diberi pakan rumput lokal, tanpa melaksanakan penanggulangan penyakit. Tingkat adopsi petani terhadap pengolahan pakan bioplus (bioplus adalah probiotik yang mengandung mikroba pencerna serat kasar yang terseleksi dan berinteraksi positif dengan mikroba rumen ternak target) masih rendah, karena selain disebabkan oleh jarangnya pemotongan sapi/kerbau di rumah potong hewan untuk memperoleh isi rumen, juga disebabkan oleh rendahnya kuantitas dan kualitas mikroba yang dikandung bioplus, sehingga cepat menjadi rusak. Maka perlu dilakukan modifikasi atau penyempurnaan teknologi pembuatan dan penyimpanan bioplus sederhana, terutama untuk keperluan di lokasi yang sulit mendapatkan isi rumen kerbau.

Pemanfaatan teknologi dalam dunia peternakan belum banyak dirasakan oleh sebagian petani ternak, karena teknologi yang ada sekarang memerlukan biaya yang tinggi dan kurang cocok bila diterapkan pada petani ternak karena keterbatasan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang kurang mendukung. Padahal teknologi dalam dunia peternakan sangat diperlukan dalam rangka peningkatan produksi dan peningkatan kualitas produk yang dihasilkan. Untuk itu peran serta semua pihak sangat diperlukan untuk mendukung terciptanya dan pemanfaatan teknologi tepat guna pada tingkat peternak (Imam, 2003).

ADOPSI TEKNOLOGI BERDASARKAN KEBUTUHAN PETERNAK SECARA PARTISIPATIF

Mardikanto (1993) menyatakan bahwa adopsi dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psychomotoric) pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan. Inovasi sendiri adalah sesuatu ide, perilaku, produk, informasi dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima dan digunakan/diterapkan/dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di masyarakat.

Untuk memilih inovasi yang tepat maka inovasi harus memenuhi kriteria-kriteria yang menurut Bunch (2001) yaitu dirasakan sebagai kebutuhan, sudah terlalu sering inovasi-inovasi pertanian yang ditawarkan kepada petani hanya “menggaruk ditempat yang tidak gatal” karena inovasi tersebut lebih banyak bersifat daftar keinginan dari pihak luar, bukan daftar kebutuhan masyarakat itu sendiri. Kejadian yang mudah untuk diketahui adalah tidak diadopsinya inovasi oleh petani. Masyarakat harus yakin bahwa inovasi itu memenuhi suatu kebutuhan yang benar-benar dirasakan.

Dilain pihak, Rogers (1995) menyatakan bahwa berhasil tidaknya pengembangan teknologi ditentukan oleh mau tidaknya petani mengadopsi teknologi yang dianjurkan. Proses adopsi dan difusi suatu teknologi termasuk teknologi pertanian dapat dilihat dari berbagai sifatnya yaitu sifat intrinsik seperti keunggulan relatif dari inovasi yang diperkenalkan. Semakin tinggi tingkat keuntungan relatif semakin cepat pula teknologi tersebur diterima oleh masyarakat. Sifat lain dari teknologi yang mempengaruhi sehingga dapat diadopsi adalah sifat kerumitan inovasi (complexity), kemudahan inovasi diterapkan (triability), kemudahan inovasi diamati (observability), serta sifat ekstrinsik seperti kesesuaian (compatibility) inovasi dengan lingkungan.

Ponniah et al., (2008) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses penyebaran atau adopsi teknologi pertanian adalah : a). Partisipasi petani dan masyarakat. Dalam banyak kasus yang telah berhasil dilakukan bahwa partisipasi petani sangat menentukan diseminasi teknologi. Petani harus terlibat dalam keseluruhan aspek pengembangan usahatani dan dikembangkan berdasarkan inisiatif petani, dan petani harus memiliki responsifitas terhadap pengembangan teknologi. Bentuk pendekatan partisipatif merupakan pendekatan yang perlu dilakukan untuk menjalin adanya pertukaran ide dan pengetahuan di kalangan petani, dengan tenaga teknis, dan ilmuwan. Dengan pendekatan partisipatif akan terbangun interaksi antara petani dan pemangku kepentingan lainnya, dan saling percaya dan terjalinnya komunikasi yang terbuka. b). Hubungan antar kelompok dan kelembagaan masyarakat dengan petani. Hubungan kerjasama yang erat antara lembaga-lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat dan petani menjadi penting dan efektif untuk mengembangkan dan menyebarkan suatu teknologi. Dalam banyak kasus, beberapa manfaat yang diperoleh dengan adanya hubungan kemitraan antar kelompok dan lembaga yang terlibat adalah peningkatan pengetahuan dan keterampilan, dukungan pembiayaan, mengembangkan kepercayaan dan keyakinan di antara mitra, memungkinkan berbagi tanggung jawab, membangun sebuah pendekatan holistik dalam pengembangan teknologi.

Suatu teknologi diadopsi oleh pengguna dalam hal ini petani, apabila teknologi tersebut dapat memberikan dampak positif yaitu keuntungan bagi penggunanya. Keuntungan tersebut dapat berupa keuntungan langsung yaitu berupa peningkatan produktivitas atau pendapatan usahatani, atau keuntungan tidak langsung lainnya (Sudana, 2008). Disamping teknologi memberikan dampak positif, dalam proses adopsi teknologi petani mengembangkan pula pengetahuan baru dari pengetahuan dasar teknologi yang sudah petani miliki. Apabila ada inovasi baru yang diperkenalkan kepada petani, maka petani akan melakukan serangkaian penelitian sederhana untuk menguji efektivitas dan manfaat dari inovasi baru tersebut. Dari hasil uji coba yang dilakukan, kemudian petani membuat keputusan apakah akan menerapkan inovasi baru tersebut atau tidak. Jika hasilnya seperti yang diharapkan maka petani akan mengadopsi teknologi atau pengetahuan tersebut (Sunaryo dan Joshi, 2003).

Kinerja transfer dan pengembangan suatu teknologi, sangat dipengaruhi oleh keberpihakan teknologi tersebut terhadap kepentingan petani sebagai pengguna dari teknologi tersebut, serta efektifitas dari teknologi tersebut terhadap pemecahan masalah yang sedang dihadapi petani. Apabila suatu teknologi keberpihakannya kepada kepentingan petani lebih nyata, serta efektif dalam memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi petani, maka kinerja transfer dan pengembangan teknologi tersebut akan menjadi lebih baik. Tanpa banyak promosi teknologi tersebut akan dicari oleh pengguna baik petani maupun pihak terkait (Sudana, 2008).

Dalam metode pendekatan partisipatif, peran petani dianggap menjadi penting, selain penyuluh maupun peneliti. Perumusan peran petani, penyuluh dan peneliti serta perumusan masalah yang juga merupakan cirri-ciri partisipatif (Balitbang Deptan, 1998) adalah :

  1. Peran petani : mengemukankan/menyatakan akan kebutuhan untuk inovasi pertanian, menyeleksi dari beberapa teknologi pertanian yang mungkin dapat dipergunakan, menentukan pengelolaan (management) dari kondisi yang ada dalam uji coba, mencoba dan mengevaluasi apakah teknologi yang dipilih sesuai dengan kebutuhan, menyebar luaskan pengetahuannya kepada petani lain
  2. Peran penyuluh pertanian : menunjukkan kebutuhannya sendiri terhadap informasi tentang inovasi, memotivasi pengetahuan petani yang ada, menolong petani mengemukakan dengan baik akan kebutuhan mereka terhadap inovasi, mengevaluasi kemungkinan inovasi dalam sistem penyuluhan yang ada, menyebar luaskan pengetahuan inovasi, menyebar luaskan pengetahuan mengenai bagaimana melakukan uji coba dan mengevaluasi suatu inovasi
  3. Peran Peneliti : menolong petani dalam mengartikulasikan akan inovasi, mendemonstrasikan teknologi-teknologi yang mungkin dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan, menggali dan mempergunakan teknologi lokal yang ada, menyediakan prinsip dan metoda-metoda untuk menguji teknologi yang terpilih, mengevaluasi produktivitas dan keterlanjutannya (sustainability)

Akhirnya untuk meningkatkan adopsi teknologi peternakan diperlukan adanya penyuluhan. Penyuluhan sangat memiliki peranan penting dalam pengembangan peternakan khususnya dalam peningkatan proses adopsi teknologi peternakan kepada peternak. Keberhasilan penyuluhan sangat ditentukan oleh model penyuluhan, dimana model penyuluhan harus didesain atas dasar analisis kebutuhan peternak yang dilakukan secara partisipatif yaitu adanya kesesuaian metode, materi dan media yang digunakan, karena teknologi peternakan tidak diadopsi dapat diakibatkan oleh salah satunya kesalahan dalam memilih model penyuluhan (Abdullah, 2008a)

ADOPSI TEKNOLOGI PAKAN MELALUI PENGEMBANGAN

INDUSTRI PAKAN SKALA KECIL BERBASIS KELOMPOK TANI

Gabungan kelompok tani adalah gabungan dari beberapa kelompok tani yang melakukan usaha agribisnis di atas prinsip kebersamaan dan kemitraan sehingga mencapai peningkatan produksi dan pendapatan usahatani bagi anggotanya dan petani lainnya. Gapoktan merupakan Wadah Kerjasama Antar Kelompok Tani (WKAK), yaitu kumpulan dari beberapa kelompok tani yang mempunyai kepentingan yang sama dalam pengembangan komoditas usaha tani tertentu untuk menggalang kepentingan bersama.

Pemberdayaan Gapoktan tersebut berada dalam konteks penguatan kelembagaan. Untuk dapat berkembangnya sistem dan usaha agribisnis diperlukan penguatan kelembagaan baik kelembagaan petani, maupun kelembagaan usaha dan pemerintah agar dapat berfungsi sesuai dengan perannya masing-masing. Kelembagaan petani dibina dan dikembangkan berdasarkan kepentingan masyarakat dan harus tumbuh dan berkembang dari masyarakat itu sendiri.

Untuk itu untuk pengembangan adopsi teknologi pakan pada tingkat peternak salah satu alternatif pelaksanaan adalah pengembangan pabrik pakan skala kecil. Hal ini dilakukan dengan mengembangkan kelompok tani dalam wadah gabungan kelompok tani sebagai pelaku usaha pabrik pakan. Mekanisme dan operasional pelaksanaan pengelolaan pabrik pakan dibicarakan secara bersama semua anggota kelompok tani. Pembagian peran dan fungsi kelompok tani dalam pengelolaan usaha pabrik pakan dapat berbeda sehingga masing-masing kelompok memiliki tanggung jawab.

Dengan pola pengelolaan seperti dikemukakan di atas, masing-masing kelompok memiliki peran dan fungsi yang berbeda sebagai fungsi utama dalam usaha pabrik pakan skala kecil.

1. Kelompok Satu : Menyediakan bahan baku (pembelian), melakukan pengolahan pendahuluan seperti pengeringan, jika diperlukan peningkatan nilai nutrisi (fermentasi), serta penggilingan bahan baku pakan.

2. Kelompok Dua : Melakukan aktivitas produksi pakan, pembuatan konsentrat dengan proses pencampuran, pemeletan, crumble, pengemasan dengan menggunakan mesin produksi pakan untuk menghasilkan complete feed

3. Kelompok Tiga : Berperan sebagai marketing/pemasaran pakan complete feed. Distribusi dan pemasaran kepada kelompok tani pelaku budidaya sapi potong

4. Kelompok Empat : Melakukan aktivitas budidaya sapi potong dengan menggunakan complete feed. Dengan complete feed penyediaan pakan lebih terjamin dan berkesinambungan.

Pengembangan industri pakan berbasis kelompok tani tidak terlepas dari pengembangan kelembagaan kelompok tani. Menurut Abdullah (2008b), bahwa pengembangan kelompok tani ternak dilaksanakan dengan menumbuhkan kesadaran para peternak, dimana keberadaan kelompok tani tersebut dilakukan dari, oleh dan untuk peternak. Pengembangan kelompok tani perlu dilaksanakan dengan nuansa partisipatif sehingga prinsip kesetaraan, transparansi, tanggungjawab, akuntabilitas serta kerjasama menjadi muatan-muatan baru dalam pemberdayaan peternak. Suatu kelompok tani yang terbentuk atas dasar adanya kesamaan kepentingan diantara peternak menjadikan kelompok tani tersebut dapat eksis dan memiliki kemampuan untuk melakukan akses kepada seluruh sumberdaya seperti sumberdaya alam, manusia, modal, informasi, serta sarana dan prasarana dalam mengembangan usahatani yang dilakukannya.

PENUTUP

Pemanfaatan teknologi belum banyak dirasakan oleh sebagian petani ternak, karena teknologi yang ada memerlukan biaya tinggi dan kurang cocok bila diterapkan pada petani ternak karena keterbatasan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang kurang mendukung. Dalam banyak kasus yang telah berhasil dilakukan bahwa partisipasi petani sangat menentukan diseminasi teknologi pakan. Petani harus terlibat dalam keseluruhan aspek pengembangan usahatani dan dikembangkan berdasarkan inisiatif petani, dan petani harus memiliki responsifitas terhadap pengembangan teknologi.

Bentuk pendekatan partisipatif merupakan pendekatan yang perlu dilakukan untuk menjalin adanya pertukaran ide dan pengetahuan di kalangan petani, dengan tenaga teknis, dan ilmuwan. Dengan pendekatan partisipatif akan terbangun interaksi antara petani dan pemangku kepentingan lainnya, dan saling percaya dan terjalinnya komunikasi yang terbuka, dan pada gilirannya teknologi yang diadopsi oleh peternak adalah teknologi yang sesuai dengan kebutuhannya.

Peningkatan adopsi teknologi pakan pada tingkat peternak salah satu alternatif pelaksanaan adalah pengembangan pabrik pakan skala kecil. Hal ini dilakukan dengan mengembangkan kelompok tani dalam wadah gabungan kelompok tani sebagai pelaku usaha pabrik pakan. Mekanisme dan operasional pelaksanaan pengelolaan pabrik pakan dibicarakan secara bersama semua anggota kelompok tani. Pembagian peran dan fungsi kelompok tani dalam pengelolaan usaha pabrik pakan dapat berbeda sehingga masing-masing kelompok memiliki tanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. 2008a. Adopsi Teknologi Peternakan. Tribun Timur Makassar, 8 Nopember 2008. hal.2

Abdullah, A. 2008b. Peranan Penyuluhan dan Kelompok Tani Ternak untuk Meningkatkan Adopsi Teknologi dalam Peternakan Sapi Potong. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Sapi Potong Menuju Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi Nasional. Jurusan Peternakan Universitas Tadulako dan Dinas Peternakan Prop.Sulawesi Tengah. Palu, 24 Nopember 2008. hal.188-195

Ahmad, S.N., D.D. Siswansyah dan D.K.S. Swastika. 2004. Kajian Sistem Usaha Ternak Sapi Potong di Kalimantan Tengah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 7 ( 2) : 155-170

Balitbang Deptan. 1998. Pedoman Pelaksanaan Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Secara Partisipatif. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Deptan, Jakarta

Budiman, S. 2001. Dukungan pemerintah terhadap keberadaan bahan baku pakan lokal. Makalah Dies Natalis Himpunan Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fapet IPB. Bogor 25 Oktober 2001. Himpunan Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor

Bunch, R. 2001. Dua Tongkol Jagung : Pedoman Pengembangan Pertanian Berpangkal pada Rakyat. Edisi Kedua. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Ilham, N. 2007. Alternatif Kebijakan Peningkatan Pertumbuhan PDB Subsektor Peternakan di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 (4) : 2007 : 335-357

Imam, H. M.. 2003. Strategi Usaha Pengembangan Peternakan yang Berkesinambungan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003 :29-33

Laurer, H. R. 1993. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Edisi Kedua. PT Aneka Cipta. Jakarta

Mardikanto, T. 1993, Penyuluhan Pembangunan Pertanian, Sebelas Maret University Press, Surakarta.

Nitis, I.M. 1993. Forage Production System in Marginal Land. Proc. Seminar on Ruminant Nutrition in the Tropics, Cipanas.

Ponniah, A, R. Puskur, S.Workneh and D. Hoekstra. 2008. Concepts and practices in agricultural extension in developing countries: A source book. International Livestock Research Institute (ILRI), Addis Ababa, Ethiopia

Rogers, E.M. 1995. Diffusion of Innovations (4th ed.). Free Press. New York

Soetanto, H. 2000. Masalah Gizi dan Produktivitas Ternak Ruminansia di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Universitas Brawijaya, Malang

Sudana, W. 1988. Alokasi Optimal Sumberdaya di Daerah Transmigrasi Pematang Panggang, Sumatera Selatan. Tesis Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor

Sudardjat, S. 2000. Potensi dan Prospek Bahan Pakan Lokal Dalam Mengembangkan Industri Peternakan di Indonesia. Buletin Peternakan Edisi Tambahan : 11-15.

Sunaryo dan L. Joshi. 2003. Peranan Pengetahuan Ekologi Lokal Dalam Sistem Agroforestri. Bahan Ajaran 7. World Agroforestry Centre (Icraf), Southeast Asia Regional Office, Bogor,

Sutrisno, C.I. 1985. Pemanfaatan Limbah Pertanian untuk Pakan, dalam Kumpulan Makalah Ilmiah UNDIP. Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 279 – 289.

Sutrisno, C.I. 2009. Pemanfaatan Sumber Daya Pakan Lokal Terbarui. Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan. Program Magister Ilmu Ternak Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 20 Mei 2009, Semarang

Yusdja, Y dan N. Ilham. 2003. Tinjauan Kebijakan Pengembangan Agribisnis Sapi Potong. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 2 (2) : 183-203

Yusdja, Y. 2004. Pemantapan Program dan Strategi Kebijakan Peningkatan Produksi Daging Sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.Bogor, Bogor